Chapter 284: Polisi adalah Penegak Keadilan

Name:Legenda Dewa Harem Author:Lao_Ban69
Deviana sama sekali tidak tahu apa yang dipikirkan Randika, jika dia tahu mungkin dia sudah menamparnya.

"Tunggu, bagaimana kalau kita pergi ke tata usaha fakultas ekonomi dulu? Mungkin Timmy sedang ada kelas dan kita bisa menangkapnya dengan cepat." Kata Deviana dengan wajah serius.

Setelah Deviana berhenti berbicara, dia menyadari bahwa Randika tersenyum sambil melihat ke samping. Penasaran, Deviana menoleh ke samping dan menyadari bahwa Randika sedang tersenyum pada seorang siswi muda, bahkan dia memberikan sebuah kiss bye!

"Huh! Semua laki sama saja, kepalanya hanya berisikan wanita." Kata Deviana sambil cemberut.

Randika lalu membalas sambil tersenyum. "Tidak semua laki itu sama. Ambil contoh saja aku, mana ada di dunia ini sebaik dan setampan aku yang bahkan menolong teman polisinya dalam sebuah kasus aktif? Atau kamu ini cemburu karena aku menggoda perempuan lain?"

"Kenapa kamu suka memutar balik kata-kataku!?" Deviana mulai kelabakan.

"Hahaha lawan kita itu cuma bocah jahil, apa susahnya menangkapnya?" Kata Randika sambil tertawa.

Deviana benar-benar marah, ketika dia hendak membuka mulutnya, tiba-tiba dia menutupnya kembali.

"Dev, karena aku sudah janji untuk membantumu, aku akan menemanimu sampai kasus ini selesai. Tetapi kan tidak ada larangan untuk aku menggoda perempuan selagi bersamamu kan?"

Selama perjalanan, Deviana kembali mengomeli Randika. Untungnya saja, mereka telah tiba di tata usaha fakultas ekonomi. Setelah mendapatkan informasi, mereka berdua akhirnya pergi menuju gedung milik fakultas ekonomi.

Tidak lama kemudian, keduanya telah tiba di gedung. Deviana tidak bisa menahan malunya ketika para murid memperhatikan dirinya yang masih digendong Randika itu. Tentu mereka tidak tahu bahwa dia adalah polisi, tetapi perhatian seperti ini membuat dirinya makin malu.

Para mahasiswa ini geleng-geleng ketika melihat Randika dan Deviana, mereka pikir gedung sekolah ini hotel apa?

Sampai detik ini, Deviana belum pernah merasakan namanya pacaran. Meskipun dia dan Randika sudah melewati masa sulit bersama, mereka hanyalah seorang teman. Sekarang setelah digendong dan merasakan rasa aman yang tidak pernah dia rasakan, hatinya menjadi campur aduk.

Ditambah lagi tatapan para mahasiswa ini membuat Deviana makin malu, dia berkata dengan pelan pada Randika. "Ran, tolong turunin aku."

"Tidak bisa Dev, aku tidak ingin kamu terluka. Jika kakimu itu makin parah, bagaimana bisa kita berjalan menuju pelaminan bersama?" Randika sengaja mengeraskan suaranya karena dia tahu bahwa Deviana malu dengan tatapan orang-orang.

"Wah berani sekali pasangan itu!"

Sukses besar! Orang-orang makin memperhatikan mereka berdua!

Randika tidak bisa berhenti tertawa, dia lalu berbisik pada Deviana yang sudah tersipu malu. "Jangan khawatir, aku akan memastikan tersangkamu ini tertangkap. Jadi istirahatlah dan percayakan masalah ini padaku."

Tentu saja Randika bercanda, dia hanya ingin merasakan kelembutan paha Deviana ini lebih lama lagi!

Tetapi, tatapan semua orang menjadi lebih intens sejak Randika dengan sengaja bercanda akan membawanya ke pelaminan. Hal ini membuat Deviana makin membulatkan tekad. "Ran, turunkan aku!"

"Tidak, ini adalah tugasku untuk melindungimu." Randika sama sekali tidak ingin lepas dari paha empuk ini.

"Aku hitung sampai tiga." Wajah Deviana benar-benar serius.

"Percuma, aku tidak akan menurunkanmu." Wajah Randika juga tidak kalah serius.

Ketika hitungannya itu mencapai tiga, telinga Randika tiba-tiba digigit oleh Deviana! Itu bukan gigitan yang pelan melainkan dengan seluruh tenaga!

Bajingan! Tentu saja, makian itu hanya diteriakan Randika di dalam hatinya. Dia tidak akan pernah memaki seorang perempuan, dia adalah jentelmen!

Orang-orang yang melihat hal ini justru makin iri, mereka mengira Deviana sudah tidak sabar berhubungan badan dan mulai menyerang telinga Randika. Ah…. Cinta itu memang tidak kenal tempat.

"Iya, iya, aku turunin kamu! Tolong hentikan!" Randika makin merasa telinganya itu hampir copot, dia dengan cepat menurunkan Deviana. Tetapi ketika kakinya itu menapak, Deviana tidak bisa menyembunyikan rasa sakitnya itu.

"Tuh kan kubilang apa, sini kugendong lagi." Randika menggelengkan kepalanya. Akhirnya keduanya sepakat bahwa Deviana akan berjalan sambil bersandar di pundak Randika.

Akhirnya kedua orang ini sampai di ruangan kelas Timmy. "Serahkan penangkapan ini padaku, kamu sebaiknya duduk di sini." Kata Randika.

"Maksudmu bagaimana? Hanya polisi yang memiliki hak untuk menangkap seseorang, kamu bukanlah salah satu dari kita."

Randika lalu menjawab. "Kalau begitu, bagaimana kalau hari ini mewakilkan dirimu? Atau kamu ingin aku membawa orang itu ke sini dan kamu tinggal menangkapnya?"

Deviana berpikir sebentar, sejujurnya dia ingin menangkap Timmy dengan kedua tangannya. Namun ketika dia berusaha berdiri kembali, kaki kanannya itu terasa sakit.

"Sudah jangan memaksakan diri begitu." Kata Randika.

Deviana akhirnya menyerah dan menghela napasnya. "Kalau begitu aku serahkan orang itu padamu, tetapi jangan buat dia babak belur dan menambah masalahku."

"Hahaha sejak kapan memangnya aku membuat masalah untukmu?" Randika kemudian mengambil borgol milik Deviana dan berjalan masuk ke dalam ruangan sambil tersenyum, akhirnya dia bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi polisi.

Melihat sosok Randika yang masuk ke dalam ruangan, Deviana mengerutkan dahinya. Dia berdoa agar Randika tidak mengacaukan penangkapan ini.

Setelah memperhatikan sekelilingnya, Randika menyadari bahwa Timmy duduk di barisan paling belakang dan sedang memainkan HP miliknya.

"Tim, malam ini mau minum-minum?" Teman di sampingnya Timmy mengajaknya berbicara. "Aku dengar nanti banyak perempuan cantiknya lho."

Timmy lalu mengangkat kepalanya dan memperlihatkan wajahnya. Wajahnya benar-benar bengis dan jahat, sepertinya dia adalah preman sekolah ini. Semua orang tahu akan hal ini tetapi mereka memilih menjauhinya karena mereka takut berurusan dengan Timmy.

"Aku ada urusan malam nanti, pergilah tanpa aku." Kata Timmy sambil memainkan kalungnya. Pagi tadi dia mengambil kalung emas itu dan belum menjualnya.

Ini bukanlah aksi pertamanya, hanya saja ini pertama kalinya dia melakukannya di dekat sekolahnya.

Pada saat ini, seorang pria tampak celingak-celinguk di pintu ruangan. Semua orang terkejut ketika Randika berdiri di atas meja dosen.

Kelas belum dimulai dan murid-murid ini semuanya masih ribut dan bermain HP, tetapi mereka segera menghentikan kerjaan mereka ketika melihat Randika yang mendadak naik ke atas meja itu.

Randika lalu berteriak dengan keras. "Apa ada yang bernama Timmy di kelas ini? Aku mencari orang yang bernama Timmy."

Semua orang langsung menatap satu sama lain, mereka sangat bingung dengan tindakan Randika ini.

"Siapa orang itu?"

"Orang gila mungkin."

"Aku dengar geng miliknya Timmy tawuran dengan beberapa preman minggu lalu, apa orang itu datang untuk balas dendam?"

"Kenapa berandalan seperti itu satu kelas sama kita? Kita jadi kena imbasnya."

Semua orang mulai berdiskusi, hanya beberapa orang yang berani menatap Timmy yang duduk di barisan belakang.

Akhirnya Randika menemukan Timmy, dia kemudian berjalan menghampirinya.

"Ada apa ya?" Namun, tiba-tiba, ada perempuan berkacamata tebal yang berdiri mencegat Randika.

Setelah memperhatikan satu sama lain, Randika merasa bahwa perempuan ini adalah ketua kelas dari kelas ini. Randika tersenyum, sepertinya dia perlu menjelaskan kenapa dia datang ke kelas ini.

"Aku berasal dari kepolisian kota Cendrawasih, kalian bisa memanggilku pak Randika." Randika lalu mengeluarkan borgolnya dan tersenyum.

Kali ini, semua orang terkejut kembali.

Polisi?

Semua mata sekarang tertuju pada Timmy, apakah dia melakukan kejahatan?

Hati Timmy mengepal, dia tidak menyangka polisi akan datang ke sini secepat ini. Dia awalnya ingin menjual kalung yang dipakainya itu untuk membayar utang, sepertinya rencananya tidak berjalan semulus itu.

Kali ini dia benar-benar tamat.

Randika menghampiri Timmy dan berdiri di hadapannya, Timmy berusaha terlihat cuek. Dia masih sibuk memainkan HPnya.

"Ikutlah denganku, ada yang ingin kutanyakan." Randika menatap tajam Timmy, dia tahu bahwa bocah ini pura-pura tidak melihat dirinya.

"Apa kegiatanmu tadi pagi?" Tanya Randika.

"Tidur." Jawab Timmy dengan dingin.

"Kamu tidak pergi merampok toko emas?" Tanya Randika sekali lagi.

"Hah? Buat apa aku melakukan hal itu?" Timmy tetap berusaha terlihat tenang.

"Jadi kalung emas yang ada di lehermu itu bukan hasil merampok?"

"Bicara apa kau pak tua?" Timmy tiba-tiba berdiri dan membanting mejanya. Sosok tinggi besar segera membayangi Randika. Tinggi Randika hanya 170 cm, sedangkan Timmy lebih dari 180 cm! Tetapi tinggi bukanlah faktor yang menentukan hasil pertarungan.

"Gila, Timmy mau memukulnya?"

"Mana mungkin, orang itu polisi tahu!"

Orang-orang mulai khawatir, meskipun orang itu polisi, dia hanya sendirian dan dia terlihat lemah. Timmy dapat menghajarnya dengan mudah kalau dia mau.

Randika menghela napas di hatinya, dia sendiri tidak ingin menarik perhatian banyak orang.

Timmy menatap tajam Randika dan berkata dengan nada dingin. "Aku tidak peduli kamu polisi atau siapa, jangan ikut campur dengan urusanku."

"Jadi apakah kamu pagi tadi merampok toko emas itu?" Tanya Randika dengan santai.

"Bukan urusanmu!" Timmy sudah muak dan hendak pergi meninggalkan kelas, tetapi dia dicegat oleh Randika.

"Minggir!" Bentak Timmy. "Aku tidak mau berurusan dengan polisi yang asal menuduh tanpa bukti, kalian hanya butuh kambing hitam untuk disalahkan."

Sepertinya menonton film seri Amerika membantu Timmy sedikit, dia tahu bahwa dia tidak dapat disentuh kecuali ada bukti yang kuat.

Randika berusaha menenangkan dirinya, jika bukan karena janjinya pada Deviana, dia mungkin sudah menampar bocah tidak tahu diri ini.

"Kami mempunyai bukti." Kata Randika sambil memaksakan diri untuk tersenyum. "Kami telah memeriksa kamera keamanan dari toko dan berhasil menemukan kecocokan wajah. Oleh karena itu kami ingin meminta keterangan darimu."

Kamera?

Wajah Timmy langsung menjadi pucat pasi, hal ini langsung menarik perhatian Randika. Sepertinya gertakannya berhasil, pelakunya adalah Timmy!

"Aku tidak peduli dengan penjelasanmu, pagi tadi aku masih tidur di kamarku. Sekarang cepat minggir atau kupatahkan kakimu." Kata Timmy dengan nada serius, sementara murid-murid yang lain sudah menahan napas mereka. Reputasi Timmy sebagai berandalan sudah melegenda di universitas ini. Dia benar-benar jago berkelahi, terlebih lagi lawannya kali ini terlihat lemah.

"Maaf tapi kamu tidak bisa melawan, kamu harus ikut aku ke kantor polisi." Randika menggelengkan kepalanya. Timmy sudah muak, dia berteriak. "Mati kau!"

Pada saat yang sama, tinju Timmy sudah melayang ke wajah Randika. Tetapi, Randika dengan mudahnya menangkap kepalan tinju berandalan satu ini.

Timmy benar-benar terkejut, dia berusaha melepaskan diri tetapi tangannya sama sekali tidak bisa bergerak.

"Bukankah kalian diajari sejak kecil bahwa polisi adalah penegak keadilan?" Kata Randika sambil tersenyum, detik berikutnya dia mengangkat Timmy hanya dengan satu tangan. Kemudian di bawah tatapan semua orang, Randika melemparnya.

Semua orang langsung terkejut bukan main!