Chapter 182 Isi Hati yang Sebenarnya

Aran berdiri di dekat mobil, dengan

pikiran berkecamuk. Menunggu si pemilik mobil. Melihat dari kejauhan  punggung sekertaris Han yang bicara dengan pak

Mun. Laki-laki itu terlihat menunjuk vila beberapa kali. Lalu pak Mun

mengangukan kepalanya juga. Mungkin mereka sedang membicarakan tuan dan nona,

pikir Aran. Helaan nafas getir masih keluar masuk hidung dan mulutnya. Dia

tahu, sikap sekertaris Han tadi hanya kepura-puraan. Tidak mungkin dia tidak

mencium keanehan dari sikapnya tadi. Jelas-jelas Aran terlihat sangat kikuk.

Bagaimana ini, aku malu. Menjejakan

kakinya berulang di area trotoar tempat parkir. Aran pasang wajah sok tidak

tahu malumu saja. Begitu dia memutuskan setelah berperang dengan urat malunya

sendiri.  Jangan kikuk  atau canggung di depannya. Biasa saja. Biasa

saja. Menghembuskan nafas pelan dan perlahan.

Bagaimana aku bisa bersikap biasa saja setelah ini!

“ Masuk!” Han memberi perintah saat

dia sudah masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Tanpa bertanya

sepatah katapun Aran mengikuti, duduk di kursi depan.

Mobil meninggalkan gerbang Vila,

menyisa tanda tanya kemana laki-laki ini akan membawanya. Aran melirik

pengemudi mobil yang tidak bergeming sama sekali. Suasana hening sampai mereka

memasuki jalan raya. Sepanjang mata memandang, masih terlihat bibir pantai yang

ombaknya menari-nari menampar pantai. Laut selalu menenangkan, walaupun hanya dilihat dari kejauhan. Anugrah Tuhan bagi manusia, yang layak untuk di syukuri. Apalagi saat hatimu sedang dilanda kegalauan. Melihat air yang bekejaran dibibir pantai sudah bisa membuat hati nyaman. Tapi sepertinya Aran kehilangan momen indah itu saat melirik pengemudi mobil yang sepertinya sedikitpun tidak terganggu dengan cuaca atau keadaan sekitarnya.

Apa sepanjang jalan kau mau diam

begini? Tapi, aku harus bicara apa ya? Meluruskan kesalahpahaman foto.

Bagaimana kalau kesimpulannya semakin menjurus. Dan aku bahkan tidak bisa

mengelak sedikitpun.

“ Tuan.” Akhirnya si banyak bicara

tidak bisa menahan mulutnya. Dia bertanya juga.

“ Hemm.” Hanya itu jawaban Han,

bahkan tanpa berpaling sedikitpun.

“ Kita mau kemana?” Pertanyaan

standar pembuka obrolan yang dipilih Aran. sekedar basa-basi memecah kebisuan.

Hening, tidak ada jawaban walaupun

sekedar kata hemm. Artinya dia tidak akan menjawab walaupun pertanyaan di ganti

ke versi yang lain.

Bisa tidak si dia bersikap normal

pada orang lain selain tuan Saga dan nona?

“ Tuan Han, apa tuan Saga masih

marah? Kenapa hari ini jadwalnya berubah?.” Benar, membuat pembicaraan yang

tidak ada hubungannya dengan foto jauh lebih baik. Begitulah akhirnya pertanyaan yang dipilih Aran. Membicarakan cinta tuan Saga dan nona jauh lebih menarik ketimbang bahasan apapun.

Sudahlah, jika dia tidak mengorek

mencari tahu, itu jadi lebih baik. Aku akan terus menyimpannya dalam hati saja.

“ Tidak.”

Tidak, maksudnya tidak marahkan?

“ Tapi apa yang sekarang mereka lakukan

di dalam kamar tuan?” Mata Aran terlihat berkedut setelah menyadari

pertanyaannya.

Please jangan dijawab, aku hanya keceplosan.

Aku juga tahu apa yang sedang terjadi di kamar utama vila itu. Wajah Aran

memerah dengan sendirinya.

“ Apa kau benar-benar tidak tahu?”

Mengeleng tidak percaya. Tapi mata dan pandangannya masih fokus ke jalanan.

Tapi Han terlihat tersenyum tipis.

“ Haha, tentu saja saya tahu.”

Langsung menutup mulutnya rapat. “Sayakan penulis novel tuan, saya sudah sering

membuat adegan seperti itu.” Tertawa garing yang dipaksakan. Supaya udara

canggung menguap.

“ Ternyata pengalamanmu hanya ada

di dunia halu ya.” Telak mencibir dengan wajar datar tanpa senyum sama sekali.

Hahaha, kau sudah seperti orang

yang berpengalaman dalam urusan cinta saja tuan.

Ingin sekali Aran mematahkan

kepercayaan diri sekertaris Han saat berurusan dengan cinta. Karena dia tahu

laki-laki ini tidak pernah terlibat hubungan apapun dengan perempuan. Paling

tidak, tidak pernah ada tercium media setelah skandal lamaran di tv yang di

lakukan nona muda putri stasiun tv XX waktu itu.

“ Bagaimana dengan anda tuan, apa

anda tidak tertarik menjalin hubungan dengan wanita?” Deg, Aran mengaitkan

tangannya. Menyesal dengan pertanyaan yang dia ucapkan. Menyinggung tentang

cinta dan masa lalu. Sama saja membongkar aibnya sendiri. Dan saat dia melirik

wajah Han dia mulai melihat kerut tidak suka di mata kanan itu. Terdengar Han

menarik nafas panjang diikuti desahan kesal.

Benarkan, mulutku adalah ranjau

hidupku.

“ Arandita.”

Hah! Dia memanggil nama panjangku.

“ Ia.” Menjawab dengan suara pelan

sekali.

“ Aku tidak tertarik dengan cerita

romantis atau kehidupan tentang cinta. Jadi kuharap kau tahu batasanmu.”

Menatap Aran sekilas yang membuat gadis itu langsung memalingkan wajah. “ Jaga

garis batasmu kalau kau tidak mau terluka.”

Dia tahu, tidak mungkin dia tidak tahu.

Foto-foto tadi bukanlah foto-foto yang aku berikan ke stasiun tv. Itu adalah

koleksi pribadiku. Tidak mungkin dia tidak tahu.

“ Haha, tuan aku tidak.”

“ Baguslah! Tidak ada sedikitpun

perasaanku yang tersisa untuk masa lalu. Jadi jaga sikapmu.” Menjawab cepat

dengan suara dingin.

Udara di dalam mobil benar-benar

seperti membeku. Aran sampai merasa susah menghirupnya untuk bernafas.

“ Maaf tuan.”

Aran langsung membisu, menatap

nanar jendela mobil. Melihat jalanan hijau dan pepohonan yang menari-nari

tertiup angin. Hanya terlihat beberapa mobil melintas di jalan yang sama yang

mereka lalui. Dia menelan ludah. Tidak mau lagi membuka mulutnya.

Apa yang kau pikirkan Aran. Semua

itu juga salahmu. Laki-laki ini menjadi harimau gila karena kau yang membuatnya begitu. Kalau kau menyalahkannya, dirimulah yang harusnya mendapat hukuman paling berat.

Pandangan mata Aran bertemu lagi

dengan mimpi yang siang malam mengejarnya dalam pelariannya. Dengan kelamnya benang takdir yang terikat antara dirinya dan sekertaris Han.

Hari itu adalah hari terakhir Aran bekerja di

stasiun TVXX, sebagai reporter kelas satu yang tajuk berita dan tulisannya

selalu masuk berita utama di jam prime time. Hari itu dia sudah menyelesaikan

semua berkas berita yang akan naik untuk berita malam. Ruangan kerjanya

terlihat sedikit lengang, semua orang yang ada di dalamnya sedang sibuk dengan

pekerjaan masing-masing. Tidak ada yang mendongak dari layar komputer, berusaha berkejaran dengan waktu dan helaan nafas.

“ Ahhhh, selesai!” Menyandarkan

kepala ke kursi empuk. Aran mengangkat tangannya mengeliat kekanan dan kekiri,

mengusir penat, pegal dan lelahnya tubuh. “ Ada yang mau kopi? Aku mau pergi ke

bawah membeli kopi.” Semua langsung mendongak dan mengangkat tangan mereka,

dengan wajah penat dan lelah bercampur iri karena Aran sudah menyelesaikan

pekerjaannya. “ Baik, baik, aku bawakan semua. Silahkan lanjutkan pekerjaan

kalian.” Tawanya disambut seringai dan beberapa makian di ujung meja. Mengumpati

pekerjaan yang tidak selesai-selesai dari pagi buta tadi.

Brak!! Suara keras pintu terbuka

membuat seisi ruangan langsung terperanjak kaget. Ada yang terdengar memaki.

Mereka berdiri dari tempat duduk. Langsung berwajah pias termasuk Aran. Presdir

stasiun tv dan sekertarisnya sudah berdiri di depan pintu dengan aura penuh

ancaman. Sekelilingnya sudah mengeluarkan aura hitam membunuh.

“ Presdir.” Termasuk Aran langsung

meninggalkan kursi mereka mendekat.

Ada apa ini? Kenapa presdir sampai

muncul di ruangan berita? Apa kesalahan yang sudah kami lakukan? Tidak, siapa

yang sudah membuat kesalahan sefatal ini sampai dia muncul di sini?

Semua isi kepala orang-orang yang

ada di ruangan saling tumpang tindih. Lupa dengan lelah, kantuk dan kopi panas

yang ingin mereka hirup aromanya.

“ Semua keluar kecuali Aran!” Saat

sekertaris presdir bicara kaki Aran sudah mulai melemah.

Apa ini? Kenapa aku? Apa salahku?

Perihal sekertaris Antarna Group

langsung melintas. Apalagi hal yang dia kerjakan di luar line beritanya selain

membuntuti laki-laki itu. Harimau gila antarna Group yang menakutkan.

Tunggu, mereka berjanji

merahasiakan namakukan? Mereka tidak mungkin menghianatikukan? Nona!

Semua karyawan satu ruangan Aran

saling pandang, bahkan menatap Aran dengan tanda tanya. Mereka terlihat

mengangkat bahu sambil bertanya dengan bibir rapat.

Aran apa yang kau lakukan?

Kenapa?

Apa kau membuat kesalahan pada

presdir?

Kami tahu kau gila? tapi ini presdir, kesalahan apa yang sudah kau lakukan?

Sementara Aran hanya membisu dan

tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tangannya yang sedikit bergetar.

Bersambung