Chapter 181 Aran (Part 2)

Sebuah kamar kecil di area paviliun vila,

tempat para pelayan wanita tinggal selama bulan madu tuan dan nona mereka. Aran

tetap tinggal sendiri seperti saat dia ada di rumah belakang, karena memang dia

belum mendapatkan teman sekamar. Namun saat ini, sesal datang menelisik hatinya, kenapa dia menyelinap

tadi dari kegiatan para pelayan yang lain. Seharusnya dia memilih duduk-duduk di pinggir pantai sambil mengigit

bibir iri melihat yang lain bermain ombak dan olahraga air. Setidaknya menikmati

hembusan angin jauh lebih baik dari pada di posisinya sekarang. Berada di kamar kecil ini berdua dengan laki-laki yang susah di tebak suasana hatinya. Han masuk tadi tanpa menutup pintu, sengaja dia biarkan terbuka.

Jantung Aran sudah berdebar  sangat kuat. Degupnya berpacu seirama dengan tarikan nafasnya.

Dia perlahan mengeser semua perangkat elektronik di meja membelakanginya.

Sampai benda-benda itu tertutup tubuhnya. Tidak terlihat, minimal itu yang bisa dia lakukan sekarang. Sambil terus memohon dalam doanya, supaya laki-laki di depannya

ini tidak melihat apapun tadi. Tapi, saat dia mendonggakan wajah dan pandangan

mata mereka bertemu, dia tahu, kalau laki-laki di hadapannya ini sudah melihat.

Dia pasti melihatkan. Mata

harimaunya tidak mungkin lengah.

“ Minggir!” Han sudah berdiri dengan

sikap angkuhnya, tidak akan mundur selangkahpun dari posisinya. Walaupun sekeras

kepala apapun Aran mencoba mempertahankan apa yang dia sembunyikan.

Aran tetap diam mematung di

posisinya.

“ Kau tidak dengar? Aku bilang

minggir.” Mata sekertaris Han sudah membuat bulu kudu merinding. Dan Aran sudah mulai gentar dan ngeri.

“ Tuan ini barang pribadi saya.

Tuan tidak bisa seenaknya memeriksa barang pribadi saya.” Takut-takut menjawab.

Dengan posisi masih berdiri di tempatnya. Mendengar jawaban Aran, Han tersenyum tipis.

“ Kau lupa yang kau katakan?" Mendengar kata-kata Han, ingatan Aran langsung loncat di kafe saat kedua kalinya mereka bertemu setelah insiden toko buku. " saat

aku mempekerjakanmu, apa yang kau katakan?” Senyum tipisnya muncul lagi.

Menjadi seringai kecil, di mata Aran terlihat seperti auman  harimau yang siap

menerkamnya bulat-bulat.

Aran bergeser pelan dari tempatnya

berdiri. Menjauhi meja dimana semua senjata menulisnya berada. Menatap nanar

laptop yang sudah tertutup dan hp yang masih bergetar sesekali menandakan masih

ada notifikasi masuk. Tidak tahu itu pesan atau hanya sekedar spam notifikasi

sosial medianya.

“ Mematuhi  semua perintah anda tanpa terkecuali.” Katanya

pelan sambil berjalan menjauh dari meja.

Cih seharusnya aku menambah poin

jangan mencampuri urusan pribadiku. Kenapa aku hanya mengajukan syarat untuk tidak memukulku saja si. Rasanya Aran ingin menangis darah karena kesal akan kebodohannya.

Han sudah seperti menyentuh benda

miliknya sendiri. Menarik kursi untuk dia duduki dengan nyaman. Sementara Aran

masih berdiri dengan detak jantung yang jauh lebih cepat dari biasanya.

Pikirannya sedang menerawang, membuat jawaban atau sebuah sekenario dadakan

kalau saja hal paling gila yang akan di ucapkan sekertaris Han setelah melihat

isi laptopnya. Han sudah mengangkat layar laptop. Matanya melirik hp di

sampaingnya. Sementara Aran berdiri semakin pucat. Wajahnya sudah seperti

kekurangan darah. Dia meremas ujung bajunya.

Apa aku rebut dan banting saja

laptop itu. Aaaaa, itu senjataku mencari uang selama ini!

“ Duduklah!” Tanpa melihat Aran Han

bicara. Laki-laki itu hanya melirik sebentar wajah pucat gadis di depannya.

Lalu fokus melihat laptop di depannya. Layar depan laptop sudah menyala. Dan

dia sudah melihat apa yang yang di sembunyikan Aran. “ Kau mau berdiri di

situ?”

“ Tidak! Saya duduk tuan. Terimakasih.”

Berteriak memotong kata-kata Han.

Foto-foto yang diambilnya secara

sembunyi-sembunyi beberapa tahun lalu. Sejarah kelam namun selalu dianggapnya

maha karya. Kebencian sekaligus kebanggaan yang campur aduk saat melihatnya.

Membuat Aran mengangapnya itu sebagai kenangan terbaik sekaligus menyedihkan

dari pekerjaannya. Lagi pula orang dalam foto itu cukup enak di pandang mata.

Walaupun di pandang dengan dibumbui kebencian sekalipun. Semuanya dalam jumlah

tidak sedikit. Menjadi kolase puzle sebagai layar dakstopnya.

Sialan! Kenapa sampai ketahuan

begini si!

Ini seperti penguntit yang ketahuan memajang foto-foto hasil stalker di dinding kamar. Sudah tidak semua foto masuk kategori bisa di konsumsi publik semua umur lagi. Rasanya Aran ingin tengelam ke dasar kerak bumi saja.

“ Hah! Kau benar-benar tidak tahu

malu ya.” Berdecak keras. Sambil menunjuk laptop dengan jari telunjuknya. Aran

bahkan berfikir benda tua itu akan pecah kalau sekali lagi di tunjuk sekeras

itu. “Bagaimana kau bisa menyimpan foto-foto hasil curian mu ini tanpa rasa

bersalah sama sekali.”

Diam, hanya bisa mengigit bibir

tanpa bisa membantah sedikitpun.

“ Apa kau menunggu waktu yang tepat

untuk mempublikasikan ke publik seperti beberapa tahun yang lalu. Sepertinya

peringatanku kau anggap main-main ya.” Suara sekertaris Han lebih dingin dari

yang tadi. Dia mengambil hp di sebelahnya. Menyala dan terkunci. “ Buka!” Di

sodorkan hp itu dengan tangan kirinya. Ragu Aran menerimanya.

Matilah aku.

“ Kau sepertinya sudah benar-benar

bosan hidup ya. Kau mau menguji sejauh mana aku bisa mengasihanimu?” Meletakan

hp dengan suara keras di atas meja setelah melihat isinya. Aran terlonjak menyentuh dadanya.

“ Tidak tuan!” Bangun dari duduk

dan berteriak kencang. Suaranya memecah langit-langit kamar. “Saya bersumpah

tidak ada niatan mempublikasikan foto-foto itu.”

“ Dimana kau menyimpan file vidio

yang sudah kusuruh untuk dimusnahkan file aslinya itu.” Kembali menggerakan

tangan melihat file-file di laptop. Mengacuhkan penjelasan Aran.

“ Saya bersumpah tuan, saya tidak

menyimpan vidio itu lagi. Semua sudah saya hapus di depan anda dulu.”

Han menoleh. Masih dengan tatapan

tidak percayanya.

“ Apa kau mau aku percaya setelah

aku lihat foto-foto ini.”

Ada puluhan gabungan foto yang

berbeda di layar dekstop milik laptop Aran. Gadis itu meremas gemetar ujung

bajunya lagi. Alasan apapun tidak akan terdengar masuk akal.

Bagaimana ini? Apa yang harus aku

katakan.

“ Duduk!” Aran kangsung duduk di

kursinya lagi setelah mendengar satu kata. “ Apa sejak dulu kau?”

Tidak, tidak jangan menebak! Jangan

menyimpulkan sembarangan. Wajah Aran semakin pucat. Dia menahan nafasnya.

Meremas ujung bajunya. Berdoa sebisa yang dia bisa lakukan. Kalau sampai

tebakan tuan Han benar, dia tidak tahu harus memasang wajah seperti apa.

“ Tidak tuan!” berteriak keras

“ Tutup mulutmu. Kau mau tuan muda

terganggu karena teriakanmu.” Melihat pintu kamar yang terbuka. Walaupun dia

sendiri tahu, suara Aran tidak mungkin terdengar sampai kamar dua orang yang

sedang di mabuk cinta itu.

“ Maaf.” Suaranya melemah seketika.

“ Apa kau menyumpahiku dengan

melihat foto-foto ini selama kau hidup dalam pelarianmu?” Mendengar pertanyaan

itu, ntah kenapa Aran sudah kembali bisa bernafas lega. Wajahnya yang memucat

sudah seperti teraliri darah.

Benar, tidak mungkin dia berfikir

kalau aku.

Aran menghentikan pikirannya untuk

membuat kesimpulan.

“ Haha, tuan anda benar sekali. Saya

mengutuki anda setiap hari dengan memandang wajah di layar laptop itu. Setiap

hari, setiap waktu. Saat saya lelah dan kehilangan akal sehat saya, saya selalu

memaki-maki tuan dengan melihat wajah-wajah tuan.”

Puaskan, jelas sekalikan sebenci

apa aku padamu. Jadi sudahi intrograsi ini sekarang juga!

“ Apa kau pikir aku suamimu sampai

setiap hari kau harus memikirkanku.”

Hah! Apa! Kenapa kesimpulan macam

itu yang kau ambil.

“ Tuan bukan begitu, saya tidak

memikirkan anda dalam keadaan senang.”

“ Tutup mulutmu dan ikut aku!”  Han bangun dari duduk, begitu juga Aran.

Dia langsung mendekati meja melihat layar depan laptopnya.

" Bodoh! Bodoh!" Memaki dirinya sendiri dengan suara yang hanya terdengar di telinganya. Lalu segera

mematikan laptop dan hpnya.

“ Kita mau kemana tuan?” Bertanya sambil mengejar Han yang sudah sampai di pintu.

Laki-laki itu berhenti dan membalikan badan.

“  Saya tidak akan bertanya lagi tuan, saya masih ingin hidup lama. Bertemu dengan laki-laki yang saya cintai, menikah dan punya banyak anak. hehe!” Menjawab dengan ceria walaupun mendapat balasan wajah kaku dari sekertaris Han.

" Kau sedang apa? Menyatakan perasaanmu padaku?" Berbalik dan berjalan tanpa mendengar balasan ataupun melihat wajah tidak percaya Aran.

Hah! Kenapa dia? kenapa aku merasa dia sebenarnya tahu.

Mengejar Han dengan perasaan kalut yang tidak bisa di sembunyikan.

Bersambung