Chapter 388 episode 387 (S2)

Kevin menikmati makanan hasil olahan tangan calon istrinya.

" Apa semua ini kamu yang masak?"

Menik menganggukkan kepalanya. Kevin membayangkan dia sedang makan berdua dengan istrinya. Dia menikmati makanan itu dengan selalu tersenyum.

" Apa bapak gila." Tanya Menik.

" Uhuk-uhuk." Kevin langsung tersedak dan mengambil air yang ada di dekatnya.

" Bapak tidak apa-apa?"

" Bapak lagi! Apa saya seperti orang gila sampai kamu menanyakan hal itu kepada saya."

" Iya, bapak tersenyum-senyum sendiri. Padahal tidak ada yang lucu disini pasti kalau enggak gila kesurupan."

" Masih panggil saya bapak!" Kevin menunjukkan wajah tidak suka.

" Saya tidak bisa." Rengek Menik.

" Baiklah mungkin karena kamu belum terbiasa, jadi kamu boleh memanggil dengan menyebut nama saya. Tanpa ada embel-embel bapak didepannya." Ucap Kevin.

Menik setuju dengan menganggukkan kepalanya.

" Saya memang lagi gila." Ucap Kevin.

" Serius? Kalau anda gila jangan disini. Saya tidak menampung orang gila." Ucap Menik cepat.

Kevin memutari meja makan dan duduk di sebelah Menik.

" Kamu tau siapa yang menyebabkan saya gila?"

Menik menggelengkan kepalanya.

" Kamu." Kevin mengecup punggung tangan Menik. Pipi wanita itu langsung merona merah. Dia serasa melayang di udara. Kevin bukan hanya tampan dan mapan tapi dia pandai berkata-kata dalam menaklukkan hati Menik.

" Gombal." Ucap Menik malu.

" Serius, memikirkanmu aku bisa jadi gila, membayangkanmu bergetar gagang sapuku."

" Gagang sapu?" Menik bingung.

" Bukan itu, maksudnya hati ini jadi bergetar." Kevin mengalihkan pembicaraan, karena Menik belum mengerti dengan istilah yang diucapkannya. Bisa saja dia berkata jujur. Tapi akan terdengar vulgar untuk Menik. Dan pasti wanita itu bisa pingsan jika membayangkan nantinya sebuah gagang sapu akan masuk ke dalam bagian sensitifnya.

" Kapan kamu bisa menemui mama." Tanya Kevin.

" Ibu Paula?"

Kevin menganggukkan kepalanya.

" Saya takut." Ucap Menik pelan.

" Kamu jangan menggunakan kata saya lagi. Kamu bukan bicara dengan atasanmu tapi bicara dengan calon suamimu." Ucap Kevin sambil tetap memegang tangan calon istrinya.

" Tapi anda juga menggunakan kata saya." Ucap Menik.

" Ok, kita berdua menggunakan kata aku, biar kesannya lebih dekat dan tidak terlalu formal."

Menik setuju dengan menganggukkan kepalanya.

" Kenapa kamu takut bertemu dengan mamaku." Tanya Kevin.

" Nanti kalau ibumu membenciku bagaimana? Pasti beliau berpikir kalau aku yang telah membatalkan pertunanganmu." Ucap Menik.

" Kamu tau tidak?"

" Enggak taulah, kamu belum cerita."

Kevin menarik hidung Menik gemas.

" Sebelum kita berangkat berlibur, mama menyerahkan cincin itu kepadaku. Dia yang menyuruhku untuk menyematkan cincin itu Ke jarimu. Dan mama juga yang menyuruhku untuk membawamu menemuinya." Ucap Kevin sambil memegang cincin yang ada di jari Menik.

" Bagaimana cincin ini bisa sama mamamu. Atau jangan-jangan ini sebenarnya cincin dokter Jasmin." Selidik Menik.

" Bukan, cincin itu memang untukmu. Karena aku memakaikannya kepadamu bukan kepadanya. Dan memang yang memilih cincin ini mama dan Jasmin. Tapi cincin ini belum aku sematkan ke jarinya. Kamu jangan memikirkan yang aneh-aneh." Ucap Kevin jujur.

" Oh malunya diriku."

" Kenapa malu?"

" Cincin ini seharusnya punya Jasmin tapi sekarang ada di jariku." Ucap Menik pelan.

" Nik, aku sudah menjelaskan kepadamu tadi, cincin ini untukmu dan bukan punya Jasmin. Tapi kalau kamu malu, aku bisa mengganti dengan cincin yang lain." Ucap Kevin.

" Jangan, aku pakai ini saja."

" Apa kamu yakin?"

" Yakin." Ucap Menik singkat.

" Kamu tidak malu atau minder memakai cincin itu." Ucap Kevin sambil melirik cincin yang ada di jari manis Menik.

" Aku tidak apa-apa. Jangan membuang uang dengan membeli sesuatu yang tidak penting."

" Tidak penting? Justru dengan membelikan mu cincin baru merupakan hal yang sangat penting, karena kamu calon pengantinku. Beda halnya jika kamu tidak menerimaku, pasti aku enggan membelikan." Ucap Kevin menjelaskan.

" Tapi dulu sebelum kita ada ikatan, kamu membelikan ku begitu banyak benda dari sepatu, tas ponsel sampai dompet kamu belikan. Padahal dulu kita belum ada ikatan." Ucap Menik komplain.

Kevin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia heran dengan calon istrinya, yang masih mengingat dan mempermasalahkan hal itu lagi.

" Kalau dulu itu pedekate." Ucap Kevin cepat dan lugas.

" Oh pedekate, apa orang kaya kalau pedekate seperti itu." Tanya Menik polos.

" Tergantung." Jawab Kevin singkat.

" Apanya yang digantung?"

" Jembatan yang di gantung." Ucap Kevin. Mereka tertawa bersama. Kebahagian yang terpancar dari wajah keduanya, tinggal satu langkah menuju ke pelaminan yaitu restu dari Bima.

" Besok sepulang kerja, aku akan menjemputmu."

" Jemput? Memangnya kita mau kemana." Tanya Menik.

" Nik, kamu lupa ya? Kalau kita harus bertemu dengan mama dan papa." Ucap Kevin.

" Kalau orang tuamu tidak menyukaiku bagaimana?"

" Kamu nyanyi saja."

" Nyanyi? Apa dengan nyanyi orang tuamu akan menyukaiku." Tanya Menik polos.

Kevin mengangkat kedua bahunya.

" Nah kamu saja tidak tau. Kenapa menyuruhku melakukan hal yang belum tentu orang tuamu suka." Protes Menik.

" Jadi kamu mau melakukan apa? Apa kamu mau menyanyikan lagu pembunuhan yang dinyanyikan tuan muda?"

" Hahaha, enggak ah, nanti orang tuamu malah membenciku. Lebih baik aku jadi diri sendiri tidak perlu menunjukkan yang palsu kehadapan orang tuamu." Ucap Menik.

" Bagus itu, aku setuju."

" Besok aku jemput. Dan mengenai Bima tidak perlu kamu pikirkan, kita hanya perlu memberikan bukti kepadanya."

Menik setuju, mereka melanjutkan makannya yang tertunda.

" Sayang, tadi Vita datang." Ucap Ziko.

Zira yang lagi menyisir rambutnya menoleh kearah suaminya, dengan tatapan penuh tanda tanya.

" Jangan melihatku seperti itu."

" Jadi bagaimana cara melihat yang benar." Tanya Zira.

" Dengan mengedipkan mata seperti ini." Ziko mengedipkan matanya secara berulang.

" Kamu seperti ayam yang sedang sakit mata." Ejek Zira.

Zira naik keatas kasur dan bergabung dengan suaminya.

" Untuk apa dia menemuimu?"

" Kamu cemburu ya?" Goda Ziko.

" Ngapain cemburu, aku hanya bertanya ngapain dia ke kantormu? Bukannya sudah lama dia tidak menemuimu."

Ziko membuka nakas yang ada di dekat kasur. Dia mengambil sebuah undangan dan menyerahkannya kepada istrinya.

" Apa ini?" Ucap Zira.

" Tidak mungkin kamu lupa cara membaca." Ejek Ziko.

Zira mengambil undangan dari tangan suaminya dan membacanya.

" Oh akhirnya mereka akan menikah." Ucap Zira senang.

" Iya, semoga ini menjadi pernikahan yang terakhir buat keduanya. Dan semoga awet sampai kakek nenek." Ucap Ziko seperti berdoa.

" Aamiin." Ucap Zira singkat.

" Ayo kita lanjutkan." Ucap Ziko.

" Lanjutkan apa?" Ucap Zira bingung.

" Lanjutkan membuat pr." Ucap Ziko genit.

" Apa harus di lanjutkan." Tanya Zira.

" Iya sayang, aku sudah memberi pupuk ubi kayuku. Dan aku pastikan pasti kita akan panen besar." Ucap Ziko genit sudah melucuti baju istrinya.

" Kamu menggunakan pupuk apa?"

" Pupuk kompor." Ucap Ziko singkat yang sudah sibuk dengan aksinya.

" Kompos bukan kompor." Ucap Zira memperbaiki ucapan suaminya.

" Kalau ubi kayuku mengandung kompor dan akan siap meledak di tempatmu sayang." Ucap Ziko genit.

" Like, komen dan vote yang banyak ya, terimakasih."

ig. anita_rachman83