Chapter 289 episode 288 (S2)

Ziko dan papanya telah selesai memakamkan anaknya. Di dalam perjalanan papanya tidak henti-hentinya menyemangati dan menasehati anaknya.

" Iko, Tuhan memberikan cobaan sesuai kemampuan kalian. Kamu dan Zira pasti bisa menghadapi ini semua."

Ziko hanya diam dan melihat ke luar jendela mobil. Pikirannya masih belum menerima kenyataan. Dia masih menganggap kalau ini semua hanya mimpi belaka.

Tuan besar mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang yaitu Pak Budi. Beliau memerintahkan kepada kepala pelayan itu untuk menyiapkan acara tahlilan untuk cucunya. Tidak lupa beliau memerintahkan Pak Budi untuk mengundang para tetangga di sekitar rumahnya.

Mobil masih meluncur menuju rumah sakit. Dokter Diki masih mengambil alih kemudi mobil itu. Dia tau dua orang di belakangnya masih berduka dan suasana hati keduanya masih kacau.

Di rumah sakit.

Zira sudah mulai siuman, dia membuka matanya secara perlahan. Yang pertama di lihatnya adalah cahaya lampu, kemudian dia melihat sekelilingnya.

Dia melihat mertuanya sedang duduk di sofa sambil memijat dahinya. Dan tidak jauh dari situ ada Zelin yang memejamkan matanya sambil menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.

Zira berusaha bangun dari posisi berbaringnya. Tapi dia merasa ada yang perih dan sakit di bawah perutnya.

" Aw." Zira meringis.

Nyonya Amel mendengar suara langsung beranjak dari sofa, di ikuti oleh Zelin. Mereka menghampiri tempat tidur itu.

" Zira kamu sudah sadar." Ucap Nyonya Amel.

Zira menganggukkan kepalanya. Dia berusaha untuk bangun.

" Sayang jangan bangun dulu. Kamu harus istirahat." Ucap Nyonya Amel melarang Zira untuk duduk.

Zira mencoba mengingat sesuatu. Dia berusaha mengingat kejadian hari itu.

Semua kejadian di ingatnya dari dia jatuh sampai ucapan Dokter yang mengatakan kalau dia mengalami pendarahan juga di ingatnya. Dia hanya mengingat kalau dia di pindahkan ke ruang bersalin, setelah itu dia lupa.

" Ma berapa lama aku tidur." Ucap Zira cepat.

" Kurang lebih 5 jam." Ucap Nyonya Amel.

Waktu sudah sore, jadi Nyonya Amel mencoba menerka-nerka berapa lama menantunya tidak sadarkan diri.

Zira mengelus perutnya. Dia kaget, biasanya perutnya menonjol tapi sekarang datar.

" Ma, kenapa dengan perutku. Apa aku sudah melahirkan?" Ucap Zira cepat.

Nyonya Amel dan Zelin saling pandang, mereka belum siap mengatakan yang sebenarnya.

" Ma, mana anakku." Ucap Zira lagi.

Nyonya Amel menundukkan kepalanya. Zira mengalihkan penglihatannya kepada adik iparnya.

" Zelin mana anak kakak." Ucap Zira dengan sedikit teriak.

Zelin yang di tanya hanya bisa menangis, dia tidak sanggup mengatakan kepada Zira.

Melihat adik iparnya menangis Zira langsung membuat asumsi sendiri.

" Apa yang terjadi dengan anakku, cepat jawab." Ucap Zira teriak.

" Zira, anak kamu tidak bisa di selamatkan." Ucap Nyonya Amel dengan derai air mata.

" Mama lagi bercanda kan?" Teriak Zira.

Nyonya Amel menggelengkan kepalanya.

" Mama bohong, anakku masih hidup. Dia sedang menunggu asi ku." Ucap Zira lagi.

Zira berusaha untuk bangun. Tapi semakin di paksakannya rasa sakit itu semakin menjadi.

" Zira jangan, nanti jahitan kamu lepas lagi." Ucap Nyonya Amel menahan Zira.

" Aku mau melihat anaku." Ucap Zira sambil menagis.

" Sayang, kamu di mana?" Zira terus menangis.

" Zira anak kamu sedang di makamkan. Ziko dan papa lagi mengurus itu semua." Ucap Nyonya Amel sambil menangis.

" Kakak yang sabar ya. Kakak wanita kuat, pasti bisa menghadapi cobaan ini semua." Ucap Zelin menyemangati tetap dengan air mata.

" Anakku, anakku." Zira terus menangis.

" Yang sabar sayang, kamu harus mengikhlaskan dia. Kasih sayang kamu tidak sebanding dengan kasih sayang Tuhan kepadanya. Jadi kamu harus ikhlas, ada yang menjaga dan merawatnya di sana." Ucap Nyonya Amel menyemangati Zira.

Zira hanya diam, air matanya terus mengalir. Kejadian yang di alaminya seperti mimpi. Firasatnya memang sudah ada, jauh hari sebelum pelipis matanya bergerak-gerak. Dia mimpi anaknya lahir dan pergi meninggalkannya.

Dia tidak mengatakan mimpi itu kepada suaminya. Menurutnya itu adalah bunga tidurnya. Tapi mimpi itu ternyata firasat, kalau anaknya akan pergi meninggalkannya untuk kembali kepada sang Pencipta.

Air mata Zira masih saja mengalir. Tidak berapa lama pintu kamar diketuk. Zelin berlari untuk membuka pintu itu.

Di depan pintu ada Kevin.

" Masuk asisten Kevin." Ucap Zelin mempersilahkan untuk masuk.

Kevin masuk dengan perlahan. Walaupun kepalanya masih pusing, dia tetap berusaha untuk melihat keadaan Zira dan anaknya.

Kevin ingin menyapa dan menanyakan keadaan Zira. Tapi di urungkannya, dia langsung paham bahwa telah terjadi sesuatu dengan bayi Zira.

Kevin memilih untuk duduk, dari pada bertanya. Ada rasa kasihan melihat cobaan rumah tangga Zira dan Ziko yang datang bertubi-tubi.

Tidak berapa lama, pintu di ruangan di buka dari luar. Ada Ziko dan papanya di depan pintu. Mereka masuk ke dalam ruangan itu.

Ziko melihat istrinya dengan penuh rasa sedih. Dia menghampiri istrinya yang sedang menangis.

" Sayang." Ucap Ziko sambil mengecup dahi Zira.

" Anak kita, mana anak kita." Ucap Zira menangis sesenggukan.

Ziko hanya bisa mengelus dahi dan menciumi punggung tangan istrinya.

" Mana anak kita." Ucap Zira lagi.

" Sayang, anak kita sudah di surga." Ucap Ziko dengan terbata-bata.

" hiks hiks hiks." Zira terus menangis.

Ziko berusaha untuk tegar dan kuat. Dia tidak boleh menangis di hadapan Istrinya. Walaupun hatinya hancur tapi dia berusaha untuk menyemangati istrinya.

Zira sudah bisa menerima kenyataan kalau anaknya sudah meninggal. Tapi derai air mata masih saja terus mengalir dari matanya.

Nyonya Amel dan tuan besar pamit untuk pulang. Mereka harus mempersiapkan acara tahlilan di kediamannya.

Zelin masih di situ untuk menemani kakaknya beserta Kevin.

Setelah Nyonya Amel dan Tuan besar pulang, Koko dan Menik baru tiba di area parkiran. Setelah memarkirkan motornya, Koko dan Menik masuk kedalam loby rumah sakit.

" Ko, coba kamu hubungi Pak Kevin. Tanyakan di mana ruangan nona Zira di rawat." Ucap Menik cepat.

Koko mengambil ponselnya dari saku, kemudian dia menghubungi Kevin. Tidak berapa lama panggilan masuk.

Kevin langsung keluar ruangan dan menjawab panggilan itu di luar.

" Ya halo." Ucap Kevin cepat.

" Pak saya sudah di loby rumah sakit. Diruangan apa nona Zira di rawat." Tanya Koko.

Kevin memberitahukan nama ruangan Zira di rawat.

" Nona Zira sedang mengalami musibah. Bayinya baru saja meninggal. Jadi nanti jangan banyak tanya." Ucap Kevin mengingatkan Koko.

Mendengar itu Koko langsung kaget. Pasalnya dia baru dapat kabar kalau Zira mengalami pendarahan, tapi barusan kabar duka menyelimuti keluarga Raharsya.

" Apa kamu ngerti." Ucap Kevin dari ujung ponselnya.

" Iya Pak."

Setelah itu panggilan terputus.

" Udah tau nama ruangannya." Tanya Menik.

Koko menganggukkan kepalanya.

" Ayo jalan." Ucap Menik sambil memegang tentengan buah di tangannya.

" Ada kabar duka." Ucap Koko pelan.

" Apa?" Menik melihat wajah Koko dengan penuh tanda tanya.

Koko diam sambil menundukkan kepalanya.

" Nona Zira baru kehilangan bayinya." Ucap Koko pelan.

" Apa!" Menik kaget, entah kenapa perasaannya ikut hancur mendengar itu. Mungkin karena mereka sama-sama wanita, jadi dengan cepat hatinya terenyuh.

" Ko, sebaiknya kita jangan masuk. Aku enggak kuat." Ucap Menik sambil menghapus air matanya.

Koko membawa Menik untuk duduk.

" Kamu tenangkan diri dulu. Setelah kamu cukup kuat kita masuk ke sana." Ucap Koko pelan.

Menik menganggukkan kepalanya.

" Kasihan nona Zira. Aku tidak bisa membayangkan kalau di posisinya." Ucap Menik pelan sambil menghapus bulir air matanya.

" Ini sudah goresan takdir yang di tentukan sang Pencipta." Ucap Koko pelan.

Kemudian mereka diam. Menik masih menenangkan dirinya. Dia tidak mau menangis di depan Zira. Jadi dia berusaha untuk tenang. Dan Koko hanya memandang jauh entah kemana.

" Like, komen dan vote yang banyak ya terimakasih."