Chapter 159 episode 159

Hamparan awan berbentuk gumpalan bulu domba berwarna putih terbentang luas di langit biru. Warna putihnya menimbulkan kesan indah dari balik langit biru, seolah-olah awan itu bergerak kesana kemari.

Semua penumpang yang berada di pesawat selalu melihat keindahan awan itu dari balik jendela. Setelah sekian lama, Vita akan kembali ke tanah air. Tanah yang selalu dia rindukan, banyak kenangan indah di sana.

Setiap warga negara yang telah lama tinggal di luar negeri pasti merindukan tempat lahirnya, bukan hanya tempat lahirnya, mereka juga merindukan berbagai aneka kuliner baik jajan pasar maupun makanan rumahan, semua merindukannya.

Pesawat Vita sebentar lagi landing, Vita sangat merindukan tanah airnya. Dia sudah menunggu saat ini, saat di mana dia bisa menginjakkan kakinya kembali ke tanah air.

Pesawat telah landing dengan sempurna, Vita dan beberapa penumpang lainnya sudah keluar dari pesawat menuju ke tempat baggage carousel atau ban berjalan untuk klaim bagasi. Mendapat tas atau koper pertama adalah hal yang paling di tunggu semua penumpang. Bagi penumpang yang memiliki status elite di mana memesan tempat utama atau bisnis, pastinya mendapatkan fasilitas papan atas yang lebih baik dan lebih nyaman, termasuk dalam hal penanganan bagasi menjadi prioritas utama. Tapi tidak dengan Vita, dia hanya memesan tempat kelas ekonomi jadi mau tidak mau dia harus mengantri untuk menunggu kopernya keluar dengan sendirinya.

Setelah mendapatkan kopernya, dia memanggil taksi. Taksi meluncur meninggalkan kawasan bandara menuju alamat yang di tuju penumpangnya.

Vita melihat pemandangan dari balik jendela taksi. Pemandangan yang selalu dia rindukan, tapi pemandangan itu sudah banyak perubahan di mana - mana, banyak bangunan pencakar langit yang mendominasi pemandangan itu. Walaupun pepohonan ada, tapi mayoritas di dominasi bangunan. Vita serasa bukan di tanah kelahirannya, pada saat dia meninggalkan tanah kelahirannya bangunan itu tidak terlalu banyak, tapi sekarang tanah kelahirannya sudah maju pesat.

Taksi sudah berhenti di depan sebuah bangunan yang tidak terlalu tinggi dari bangunan yang di lihatnya tadi. Vita menyerahkan beberapa lembar uang kepada supir taksi. Vita membawa koper memasuk gedung. Vita mendatangi meja resepsionis.

" Permisi saya Vita, saya mau bertemu dengan Ibu Ningsih." Ucap Vita ramah.

" Tunggu sebentar ya?" Ucap resepsionis ramah.

Vita memandangi sekeliling bangunan itu banyak beberapa gambar atau poster di pajang di dinding ruangan itu.

" Maaf mbak Vita dari mana ya?" Ucap resepsionis sambil menutup ujung telepon dengan tangannya.

Vita melupakan sesuatu, dia menunjukkan undangan kepada resepsionis. Resepsionis membaca undangan itu melalui ujung telepon.

" Silahkan masuk. Pintu lift ada di sana. Ibu Ningsih ada di lantai 3, nanti tanya saja sama orang yang ada di situ." Ucap resepsionis ramah menjelaskan.

Vita menganggukkan kepalanya, lalu berjalan menuju lift, dan menekan tombol nomor 3. Dalam beberapa menit lift sudah sampai di lantai nomor 3. Vita keluar dari pintu lift sambil melihat sekelilingnya, di lantai itu terlihat sangat sibuk dari lantai dasar. Banyak karyawan yang sibuk dengan komputernya. Mereka terlihat sangat serius dengan pekerjaannya masing-masing. Vita menyapa seseorang yang sedang lewat di depannya.

" Maaf, ruangan Ibu Ningsih di mana ya?" Ucap Vita sopan.

" Di ujung sana." Ucap pria tersebut sambil pergi meninggalkan Vita dengan terburu-buru. Vita berjalan melewati para karyawan, ada karyawan yang melihatnya sekilas dan banyak karyawan yang tidak menghiraukan kehadirannya. Vita berhenti di depan pintu yang di atasnya tertulis manager pemasaran. Vita mengetuk pintu itu, setelah ada sahutan masuk dari dalam Vita langsung memegang handle pintu, dan masuk dengan perlahan.

" Selamat siang Ibu." Sapa Vita ramah.

Ibu Ningsih adalah manager pemasaran untuk percetakan karyaku.

" Selamat pagi, silahkan duduk." Ibu Ningsih membalas sapaan Vita dengan ramah.

" Bagaimana perjalanan anda, pasti sangat melelahkan ya."

" Ya lumayan Bu." Vita tersenyum tipis menjawab pertanyaan bu Ningsih.

Ibu Ningsih tertarik dengan karya tulis yang di buat Vita, dan dia akan mengadakan kerjasama dengannya.

Sebelumnya.

Ketika di Belanda dia bekerja sebagai penulis. Dia sangat berharap kalo karya tulisnya akan di kontrak salah satu percetakan di Belanda. Tapi takdir berkata lain, ketika dia iseng manawarkan karya tulis ke negaranya sendiri. Keisengan itu menjadi peluang besar untuknya, dan keisengan itu yang mengantarkannya kembali ke tanah air.

Ada rasa ragu pada dirinya ketika di tawarkan sebuah kontrak kerjasama, tapi setelah melakukan perbincangan dengan pihak percetakan, dan pihak percetakan telah meyakinkan dirinya, Maka Vita berani mengambil keputusan untuk datang ke tanah kelahirannya.

Karya tulis Vita akan di cetak dan dipasarkan oleh percetakan karyaku. Percetakan akan memproduksi secara masal dengan tulisan dan gambar di dalamnya, Karena percetakan merupakan sebuah bagian penting dalam penerbitan dalam sebuah karya, dan Vita telah mendapatkan kesempatan itu.

Vita di kontrak pihak percetakan dan mendapatkan fasilitas berupa sebuah apartemen. Kedua belah pihak menandatangi kesepakatan itu. Kesepakatan yang telah di setujui oleh kedua belah pihak.

Ibu Ningsih memberikan sebuah kunci apartemen kepada Vita.

" Karya tulis anda akan segera kami cetak dengan segera. Saya akan menghubungi anda lagi nanti." Ucap Ibu Ningsih ramah.

Mereka saling berjabat tangan. Vita keluar dari gedung itu dengan membawa kopernya. Dia memanggil taksi yang lewat, dan supir taksi mengantarkan Vita ke alamat apartemennya berada.

Vita tidak bosan menatap pemandangan yang berada di setiap jalan. Walaupun pemandangan itu tidak asri lagi, tapi tempat itu tetap indah dimatanya.

Vita keluar dari taksi dan masuk ke dalam loby apartemen. Vita bertanya kepada petugas apartemen mengenai nomor apartemennya.

Vita masuk ke dalam apartemennya, dengan perasaan suka cita. Walaupun apartemennya tidak terlalu besar, tapi dia senang karena ini adalah hasil dari kerja kerasnya. Selama dia menikah dia tidak pernah berkarir, tapi setelah perceraian itu, dia harus menafkahi dirinya sendiri. Dia menjadikan hobi menulisnya sebagai sumber penghasilan, dan sumber penghasilan itu telah di nikmatnya.

Vita menjatuhkan badannya ke atas kasur sambil memandang langit-langit kamar. Ada rasa senang dan bebas. Senang karena karyanya di hargai, dan bebas karena dia bisa membebaskan dirinya dari bayang-bayang mantan suaminya.

" Like komen dan vote yang banyak ya terimakasih."