Chapter 137 - Langkah Nuansa

Name:Nuansa Author:Sihansiregar
Nuansa lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah hari ini setelah kemarin bepergian ke luar kota untuk mendatangi rumah Edi Nuryanto.

Dari pagi gadis itu hanya keluar rumah untuk membeli bahan-bahan masakan, selebihnya dirinya menghabiskan waktunya bersama Durah di dalam rumah mereka.

Nuansa sadar, meskipun apa yang dilakukannya beberapa hari belakangan ini adalah hal yang sangat penting, namun menghabiskan waktu bersama sang ibu juga merupakan hal yang sangat penting. Ibunya adalah satu-satunya yang dia punya saat ini, jadi dirinya tidak boleh untuk tidak meluangkan waktu bersama ibunya sekalipun ia selalu sibuk di luar.

Seharusnya Nuansa akan bertemu Eugene besok dan tidak akan pergi kemana-mana hari ini, namun dia berubah pikiran dan sepertinya tidak akan menemui Eugene dalam waktu dekat. Entah apa yang dipikirkannya, tapi yang terpenting, hari ini adalah harinya bersama Durah saja.

***

Pada malam harinya, Nuansa dan Durah tidur sedikit lebih awal, namun ternyata Nuansa tidak benar-benar tidur.

Setelah memastikan ibunya sudah tertidur pulas, Nuansa lantas menulis sesuatu di sebuah kertas di bukunya, kemudian menyobek kertas tersebut dan meletakkannya di depan pintu kamar Durah.

Gadis tersebut lantas kembali ke kamarnya untuk menggunakan celana panjang, jaket, dan sepatu, lalu ia keluar dari rumahnya dengan langkah yang sangat hati-hati. Dirinya juga menutup pintu rumahnya dengan sangat berhati-hati. Sembari pergi menjauh dari rumahnya, Nuansa teringat dengan apa yang dilakukannya siang tadi.

***FLASHBACK***

Setelah tidak berhenti bersih-bersih rumah dari pagi, Nuansa akhirnya bisa beristirahat setelah semua pekerjaannya selesai, ia juga sudah segar lagi karena sudah mandi tadi.

"Nuansa," Durah memanggil Nuansa.

"Ya, Ibu?" sahut Nuansa.

"Bagaimana kabar Emma? Dan kasus pelecehan yang dia alami bagaimana?"

"Aku belum berkomunikasi lagi dengannya, Ibu. Tapi, kalau untuk kasusnya sudah hampir selesai, aku mendapatkan informasinya dari Reynand. Tukang kebunnya sudah tertangkap juga, paling tinggal menunggu sidangnya saja. Eh, kalau begitu belum bisa dikatakan hampir selesai, ya? Hehehe," jawab Nuansa.

"Syukurlah. Tapi, apa alasan mereka melakukan itu? Ihih melindungi Wan, kan?"

"Ya. Dari hasil penyelidikan, mereka ternyata hanya sakit hati dengan sikap Emma yang dulu, Emma tidak pernah menghargai mereka. Meskipun memang mereka hanya orang yang bekerja di rumah Emma, tapi menurut mereka, Emma sama sekali tidak menghargai mereka sebagai orang yang jauh lebih tua. Ya ... kita tahulah bagaimana Emma yang dulu, tapi bukan berarti mereka pantas melakukan kejahatan padanya, kan? Menurut bibi Ihih, dia tidak tahu dengan rencana paman Wan yang berniat melecehkan Emma, tapi ketika paman Wan melakukannya, dia melindunginya dengan cara berpura-pura memihak Emma sehingga dia bisa menutupi segalanya. Tapi, tetap saja mereka sama-sama akan mendapatkan hukumannya, dan seharusnya Emma sendiri belajar banyak dari kasus ini, dia harus berubah menjadi jauh lebih baik, dan syukurlah dia memang sudah berubah."

"Hmm, begitu, ya. Yang penting semuanya sudah jelas saja dan menemukan titik akhirnya. Apa yang kau katakan benar, meskipun Ihih dan Wan bersalah, tapi Emma tetap harus merasa bersalah juga dan berubah karenanya."

"Ya."

"Kalau begitu Ibu mau mandi dulu, ya. Sudah gerah sekali rasanya."

"Ahaha, iya, Ibu."

Durah kemudian pergi ke kamar mandi.

Sesaat setelah Durah pergi, Nuansa kepikiran untuk menelpon Emma untuk menanyakan kabarnya, karena memang sudah jarang mereka berkomunikasi.

Tidak butuh waktu lama agar Nuansa mendapat jawaban dari panggilannya.

"Halo?" sapa Emma.

"Iya, halo," balas Nuansa.

"Ada apa, Nuansa? Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik. Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin bertanya bagaimana kabarmu."

"Ah, aku baik juga. Bagaimana Neptunus? Sudah ada kabar?"

Nuansa terdiam begitu mendengar pertanyaan Emma, dan tiba-tiba teringat sesuatu.

"Engh, belum. Kau sendiri bagaimana? Kau berhasil mengurus bisnis orangtuamu?" ucap Nuansa.

"Ya, tapi semuanya belum bisa kembalu seperti semula, aku bahkan harus memulai semuanya dari awal, aku menjual rumahku."

"Benarkah? Tapi, kenapa?"

"Rumah ini terlalu besar untuk aku huni sendirian, lagi pula uang dari hasil penjualannya lumayan juga untuk tabungan, kan?"

"Ah, iya, iya, benar juga. Ngomong-ngomong, boleh aku bertanya sesuatu?"

"Kau sudah bertanya-tanya dari tadi, jadi kenapa tidak?"

"Ahaha, benar juga. Emma, apa kau tahu di mana lokasi tempat Tiana dibunuh?"

"Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Rumit untuk menjelaskannya meskipun hanya sedikit saja, tapi aku berjanji akan menjelaskan semuanya padamu suatu saat nanti, tapi saat ini, jawab saja pertanyaanku."

"Aku tidak tahu, karena saat itu aku memusuhinya, kan? Jadi aku tidak mau tahu hal-hal tentangnya. Tapi, coba kau tanyakan pada Stephanie atau Zhenya."

"Kau punya nomor kontak mereka?"

"Engh, tidak, sejak aku memutus tali persahabatan aku dengan mereka, aku menghapus nomor kontak mereka. Maaf, ya, aku dulu memang menggila sekali, hahaha."

"Ahahaha, tidak apa-apa. Aku coba cari tahu dari yang lain saja."

"Oh, ok."

"Baiklah, dadah."

Mereka lalu memutuskan sambungan telepon itu.

'Siapa yang harus aku hubungi?' batin Nuansa.

'Ah, Thomas!'

Nuansa pun lantas menelpon Thomas, dan Thomas langsung menjawab panggilannya.

"Halo? Thomas, apa kau sibuk?" Nuansa langsung bertanya pada pria itu begitu panggilannya tersambung.

"Sebenarnya iya, tapi karena kau yang menelpon, jadinya tidak," jawab Thomas.

"Eh? Bagaimana bisa jadi seperti itu? Kalau kau sibuk aku akan memutuskan sambungan teleponnya, aku tidak mau mengganggu."

"Tidak, tidak, kau tidak mengganggu."

"Sungguh?"

"Ya."

"Baiklah, aku ingin bertanya padamu."

"Bertanya apa?"

"Apa kau punya-"

'Tunggu dulu, Thomas adalah ladang informasi, dia pasti tahu dimana Tiana dibunuh, jadi aku tidak perlu repot-repot bertanya pada Stephanie atau Zhenya,' batin Nuansa.

"Punya apa? Aku cuma punya hati," Thomas malah bernyanyi.

"Maksudku ... apa kau tahu sesuatu?" tanya Nuansa.

"Lagu Syahrini?"

"Ish! Bukan! Apa kau tahu tempat Tiana dibunuh?"

"Huh? Untuk apa kau ingin mengetahuinya?"

"Tidak ada, aku hanya ingin tahu saja."

"Aku tidak akan menjawabmu kalau kau main rahasia-rahasiaan."

"Kau ini!"

"Jelaskan saja ada apa."

"Baiklah, baiklah. Jadi aku tadi tiba-tiba kepikiran untuk mendatangi lokasi tempat Tiana dibunuh, karena secara tidak sengaja aku berpikir kalau mungkin saja geng motor yang membunuhnya adalah geng motor yang sama dengan yang membunuh ayahku, jadi, aku berharap aku bisa mendapatkan hal-hal baru di tempat Tiana dibunuh," papar Nuansa.

"Kau berniat untuk mendatangi tempat itu bersama paman Eugene?"

"Tidak, aku tidak jadi menemuinya besok."

"Kenapa?"

"Bukan karena hal yang besar. Aku hanya merasa kalau aku harus melakukan penyelidikan lagi, tapi hanya sendirian, baru aku akan menemuinya."

"Jadi kau berniat mendatangi tempat Tiana dibunuh sendirian?"

"Ya."

"Kapan?"

"Malam ini, kurasa."

"Kenapa harus malam?"

"Memangnya apa urusanmu?"

"Aku hanya bertanya. Aku hanya bingung kenapa kau suka beraktivitas malam-malam, apa jangan-jangan kau ini vampir, ya? Lalu kau ingin menemui vampir-vampir lainnya?"

"Apa-apaan kau ini?! Mendatanginya pada malam hari lebih enak saja kurasa, suasananya pasti tenang dan sepi, jadi aku bisa berpikir dengan baik."

"Tapi, apa kau tidak berpikir kalau arwah Tiana gentayangan di sana?"

"Thomas! Kau ini apa-apaan?!"

"Kau yakin ingin pergi sendiri?"

"Iya."

"Hmmm."

Thomas kemudian memberi tahu tempatnya pada Nuansa. Nuansa pun berterima kasih padanya, dan tak lama setelah itu pembicaraan mereka selesai, bersamaan dengan kembalinya Durah.

***FLASHBACK SELESAI***

Kini, Nuansa sedang berjalan menuju tempat dimana Tiana dibunuh yang jaraknya sekitar 8km dari rumahnya. Tentunya ini akan menjadi perjalanan yang melelahkan, tapi sebisa mungkin Nuansa berusaha untuk sudah kembali ke rumahnya sebelum fajar terbit.