Chapter 132 - Rasa Takut

Name:Nuansa Author:Sihansiregar
Thomas tidak jadi pergi begitu dia mengetahui bahwa pintu rumah ini terbuka, dia mengetahuinya dari suara pintu tersebut, dan pria itu pun lantas berbalik badan.

Sementara Nuansa, yang berdiri di depan pintu dari jarak 30 cm, mengernyitkan dahinya begitu dia melihat siapa yang keluar.

Reaksi yang sama juga ditunjukkan oleh Rea dan Itzan yang kemudian saling melirik, sedangkan Thomas langsung menyamakan posisinya dengan Nuansa lagi.

"Siapa kalian?!" tanya pemilik rumah itu yang ternyata seorang pria tua berusia 50-an akhir.

"Neptunus Bimasakti, apa dia ada di dalam?" tanya Nuansa pada pria tua ini secara to the point, walaupun dirinya sempat terkejut karena dia sama sekali tidak mengira bahwa yang akan keluar adalah seorang pria yang mulai memasuki masa usia lanjutnya.

"Aku tidak tahu siapa yang kau bicarakan. Sekarang, lebih baik kalian pergi dan jangan ganggu aku!"

"Tunggu, Pak!" Thomas menahan pria tersebut agar tidak langsung menutup pintu rumahnya.

"Sebelumnya maaf jika kami mengganggu, dan maaf juga jika teman saya ini langsung bertanya pada Bapak begitu saja dan mungkin membuat Bapak bingung, atau terkesan kurang sopan, tapi, kami datang hanya untuk menanyakan hal itu," sambung Thomas.

"Kau tuli? Aku bilang aku tidak tahu siapa yang kalian bicarakan!" ucap pria tua itu.

"Jangan bohong kau! Kau pasti salah satu anggota geng motor itu, kan? Mengaku saja!" kata Nuansa.

"Nuansa, kau harus tenang," ujar Thomas pada Nuansa yang mendadak berapi-api.

"Ya, dan sebaiknya kau belajar tentang sopan santun. Aku tidak tahu siapa kalian, dan tiba-tiba kalian datang dengan tidak adanya sopan santun di dalam diri kalian. Dasar anak-anak muda rusak," sewot pria tua tersebut seraya masuk dan menutup pintu rumahnya, tetapi Thomas yang sebenarnya ingin menegur Nuansa, langsung mendorong pintu rumah itu sampai si pria tua hampir terjatuh.

Thomas pun kini berada di dalam. Dia tidak punya pilihan lain, karena kalau tidak pria tersebut pasti akan mengunci pintu rumahnya.

"Hei! Kua ini apa-apaan?! Mau aku berteriak minta tolong?! Orang-orang di kampung ini akan menghajar kalian sekalinya aku berteriak seperti itu! Keluar dari rumahku!" bentak pria tua itu pada Thomas.

"Maafkan saya, Pak. Begini-"

"Keluar!" pria itu tampak tidak peduli dengan maksud kedatangan Nuansa, Thomas, Itzan, dan Rea sama sekali.

"Kami melihatmu mengintai mobil pria bernama Neptunus Bimasakti di sebuah jalan besar di Jakarta! Ini buktinya!" Nuansa yang tidak mau bertele-tele pun kemudian menunjukkan foto yang dia dapatkan dari rekaman CCTV di lampu merah 5 menit itu.

"Itu bukan aku!" bantah pria tersebut.

"Lalu jelaskan tentang itu," ucap Itzan sambil menunjuk ke sebuah motor yang ada di dalam rumah ini, motor itu berada cukup jauh dari mereka. Tampaknya pria tua ini sengaja memasukkan motornya ke bagian rumahnya yang cukup dalam agar siapapun tidak menyadarinya, namun untunglah Itzan melihatnya karena ukuran rumah ini yang tidak terlalu besar. Dan motor itu sendiri memang terlihat sama dengan motor yang ada di dalam foto yang diberikan Nuansa sebagai barang bukti.

"Itu motorku, apa salahnya?!" tanya pria tua tersebut pada Itzan.

"Sekarang kalian keluarlah! Kalian sangat tidak sopan main masuk ke rumah orang begini! Aku tidak tahu siapa kalian dan aku tidak tahu siapa itu Neptunus Bimasakti! Jadi keluarlah! Kalian orang asing! Kalian tidak berhak masuk ke dalam rumahku!" lanjutnya.

Itzan lantas masuk lebih dalam ke rumah ini untuk menghampiri motor tersebut.

"Hei!" seru si pria tua sembari mengejar Itzan, namun itzan sudah sampai lebih dulu di dekat motor itu dan melihat plat nomornya yang ternyata sama dengan barang bukti Nuansa.

"Plat nomornya sama!" teriak Itzan.

Pria tua pemilik rumah ini lantas hanya bisa terdiam sambil mematung.

"Rea, periksa rumah ini," suruh Nuansa.

"Ok," sahut Rea yang kemudian mulai memeriksa kamar, dapur, kamar mandi, dan tempat-tempat lainnya yang ada di dalam rumah ini, sementara Nuansa dan Thomas menghampiri si pria tua.

"Kau sangat jelas berbohong pada kami, jadi sebaiknya kau mengatakan semuanya jika kau masih ingin bernapas," Nuansa mengancam pria tua tersebut.

"Kau tidak akan berani berbuat apapun padaku," balas pria itu.

"Aku tidak akan segan untuk melakukan hal yang diluar batas jika kau berusaha menutupi segalanya."

"Hei, tenanglah, kau ini apa-apaan, kenapa tiba-tiba kau sangat emosi?" tanya Thomas pada Nuansa.

"Bagaimana aku bisa tenang jika aku sedang berhadapan dengan pria yang berniat jahat pada Neptunus ini?!" Nuansa bertanya balik pada Thomas.

"Kita bahkan belum tahu apakah dia benar-benar mengintai Neptunus atau tidak, kita harus bertanya baik-baik padanya, dan jika kau tidak bisa bersikap baik-baik saat ini, maka duduk saja, biarkan aku yang bicara padanya, lagi pula aku paham bagaimana perasaanmu sekarang, tapi aku tidak menduga kalau kau sampai akan mengancam seperti ini. Sebenarnya ada apa denganmu? Aku tahu kalau kau sangat menyesal karena tidak pernah terbuka pada Neptunus mengenai perasaanmu padanya, tapi ... apa harus sampai sebegitunya?"

Nuansa lantas terdiam setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Thomas barusan.

"Huft, baiklah, aku duduk saja," ucap Nuansa sesaat kemudian. Gadis itu lalu duduk di depan pintu.

"Maaf atas hal itu tadi, dia benar-benar sedang tidak bisa mengontrol emosinya," ujar Thomas pada pria tua pemilik rumah ini dengan perasaan tidak enak hati.

'Dia benar, ada yang salah pada diriku, tapi apa? Bahkan dia yang biasanya bertingkah dan bersikap konyol saja bisa sebijak itu, tapi kenapa aku malah diluar kendali?' batin Nuansa.

'Tidak, ini bukan tentang perasaan sukaku pada Neptunus, ini tentang ketakutanku. Apa itu artinya aku takut jika semua kemungkinan terburuknya sebenarnya adalah hal yang terjadi?' pikir Nuansa.

"Jadi ... Bapak terlihat ketakutan dan panik saat kami datang, dan itu sudah sangat menjelaskan bahwa Bapak ini menyembunyikan sesuatu yang besar, dan baik aku maupun gadis itu bisa menyadarinya, oleh karena itu dia ingin Bapak jujur untuk memberikan penjelasan kepada kami, hanya saja cara dia salah. Tapi, sebaiknya Bapak menjelaskan semuanya secara jujur, Pak," sambung Thomas.

"Aku tidak tahu apa-apa, apa itu saja belum cukup jelas?!" kata pria tua ini.

"Kami tidak menemukan apa-apa," kata Rea yang kembali bersama Itzan.

"Hanya ada motor itu sebagai benda yang mencurigakan," tambah Itzan.

"Itu saja sudah cukup," ucap Thomas.

"Sekarang, Pak, tolong jelaskan mengenai motor Bapak yang ada di lampu merah ini, motor ini mengintai mobil yang ini, dan ini sudah jelas motor milik Bapak," ujar Thomas pada pria tua pemilik rumah ini.

"Aku tidak tahu apa-apa, tolong mengertilah, bagaimana rasanya jika kau tidak mengetahui apapun tapi seseorang memaksamu untuk menjelaskan hal yang bahkan tidak kau ketahui?" kata pria tua tersebut.

"Aku-"

"Sekarang, aku mohon pergilah dari sini, ini permintaan terakhir, kalau kalian tidak pergi juga, aku akan berteriak, kalian sudah sangat keterlaluan sampai menggeledah rumahku." Pria tua ini menginterupsi Thomas. Thomas hanya bisa terdiam setelah sang pemilik rumah berkata seperti itu, ia sudah putus asa dan berniat untuk pergi.

"Baiklah, terima kasih atas waktu yang Bapak berikan. Ayo kita pergi," Thomas mengajak Itzan dan Rea untuk pergi dari sini, namun tiba-tiba Nuansa bangkit dan menghampiri pria tua pemilik rumah ini.

"Aku ingin minta maaf atas perlakuanku tadi, Pak, aku akui kalau itu sangat kasar, dan aku sendiri belum pernah seperti itu sebelumnya, dan barusan aku menyadari bahwa ada yang salah denganku, dan, ya, memang ada yang salah denganku. Ada sebuah rasa takut besar yang mengendalikanku saat ini dan membuatku menjadi tidak bisa menahan emosiku, tapi untunglah aku sudah bisa mengendalikannya sekarang, walaupun harus aku akui kalau rasa takut yang sangat besar ini masih menempel padaku. Dan sebagai seseorang yang sedang merasa ketakutan, aku bisa merasakan ketakutan yang sedang Bapak rasakan sekarang. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Bapak begitu takut untuk berbicara pada kami? Aku minta maaf jika sebagai seseorang yang asing bagi Bapak, pertanyaan-pertanyaanku bisa dibilang tidak pantas, tapi ... ini cara satu-satunya agar aku bisa menghilangkan rasa takutku. Aku memiliki dugaan terburuk bahwa orang yang kusukai ternyata bagian dari geng motor yang sudah membunuh Ayahku, dan aku sangat takut jika hal itu sampai benar, karena aku sangat tidak mau merasa kecewa, tapi di satu sisi aku juga ingin tahu apa jawabannya, dan melalui Bapak, jawabannya pasti akan aku temukan satu persatu, jadi ... aku sangat memohon bantuan dari Bapak, dan tidak perlu takut untuk menceritakan hal yang membuat Bapak takut itu, kami ada di sini bersama Bapak." Nuansa berbicara panjang lebar pada pria tua tersebut, dan pria itu hanya bisa diam setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Nuansa.

'Bagaimana suasana hatinya bisa berubah dengan begitu cepat? Kalau aku jadi dia mungkin yang aku lakukan sekarang adalah mencakar-cakar kakek-kakek sialan ini. Tapi ... lupakanlah, Nuansa bukan aku,' batin Thomas.

"Huft ..." Si pria tua mendadak menghela napasnya.

"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi," ujarnya.

Tampak raut wajah kecewa ditunjukkan oleh Nuansa beberapa detik kemudian.

"Satu-satunya hal yang kuketahui adalah dua pria asing yang kejam meminjam paksa motorku, dan mereka memintaku untuk tidak menceritakan hal itu pada siapapun, karena kalau tidak nyawaku yang menjadi taruhannya," lanjut pria tua tersebut.