Chapter 311: Tanggung Jawab Seorang Kepala Keluarga

Name:Legenda Dewa Harem Author:Lao_Ban69
Randika berdiri tegak di tengah halaman keluarga Alfred ini dan menatap tajam ke semua orang yang ada. Aura membunuhnya yang sangat pekat itu membuat suasana menjadi berat dan orang-orang mulai kesulitan bernapas.

Dia sebelumnya telah dikejar oleh ratusan mobil polisi, puluhan helikopter dan sekarang dikepung oleh orang-orang yang berada di kediaman keluarga Alfred. Suasana riuh tadi tiba-tiba menjadi tenang.

Benar-benar suasana yang canggung.

Wajah Ivan sudah berkeringat dingin ketika melihat sosok Randika. Bukannya bocah itu sudah jatuh dari atas tebing? Kenapa dia masih bisa hidup?

Tetapi karena dia masih berani datang setelah kejadian di gunung itu, Ivan tidak bisa membiarkannya pergi hidup-hidup. Apa dia kira dia bisa datang ke rumahnya dan keluar setelah menerobos masuk seperti itu?

Di tatapan mata Ivan sudah terkandung kebencian yang sangat mendalam. Niat membunuhnya sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Orang yang telah membunuh anaknya ini tidak bisa dibiarkan hidup, orang itu harus mati!

Pada saat yang sama, pengawal-pengawal keluarga Alfred sudah mencabut senjata mereka dan mengepung Randika. Bahkan pembunuh yang dulu bertarung melawan Randika juga ikut mengepung.

Karena hari ini adalah upacara pernikahan keluarga intinya, meskipun ini cuma Ghost Marriage, hampir semua anggota keluarga inti hadir di acara ini. Di luar anggota keluarga yang berada di luar negeri, hampir semua anggota inti dari keluarga Alfred berada di tempat ini. Belum lagi keluarga aristokrat yang diundang oleh Ivan, semua orang penting di Jakarta telah berkumpul di tempat ini!

Oleh karena itu, ketika sosok Randika keluar dari dalam mobil, banyak orang yang berdiri dari tengah-tengah tamu. Mereka yang berdiri itu memiliki aura seorang ahli bela diri.

Karena keselamatan diri mereka juga terancam, mereka dengan senang hati meminjamkan kekuatan mereka pada Ivan. Lagipula membuat Ivan berhutang budi pada mereka adalah suatu hal yang bagus

Dikepung oleh orang-orang ini, wajah Randika sama sekali tidak berubah. Kenapa? Karena pertarungan seperti ini sangatlah mudah baginya.

Pada saat dia berkeliling dunia dulu, ketika dia bertemu dengan Dion, dia pernah terjebak di sebuah kota. Ratusan orang mengincar dirinya dan mereka semua telah binasa oleh tangannya!

Ketika dulu dia berada di Jepang, seluruh orang baik itu polisi, politikus, ahli bela diri lainnya tidak berani berjalan di depannya. Ketika dia melihat Randika, semua orang akan berputar dan lari dari hadapannya!

Ketika dia berada di Eropa, semua orang takluk oleh kemampuannya. Belum lagi para perempuannya, mereka semua takluk oleh kemampuan Randika! Tentu saja kemampuan yang dimaksud adalah olahraga di atas ranjang.

Jika dibandingkan dengan semua itu, kejadian hari ini bukanlah apa-apa baginya.

Kemampuan orang-orang ini kurang lebih sama dengan para ahli bela diri yang berada di daftar Dewa, sedangkan Randika belum pernah kalah oleh rendahan seperti mereka.

Hal ini terbukti ketika dia bertarung dengan 5 orang sekaligus di Nazumi Bar. Apalagi sekarang kekuatan Randika sudah bukan seperti dulu lagi.

"Orang yang berani menapakan kakinya sembarangan di rumah ini tidak pernah keluar hidup-hidup." Seorang pengawal menggelengkan kepalanya dan menatap jijik pada Randika. Keluarga Alfred sudah menancapkan akarnya di Jakarta sejak dulu, belum pernah ada orang yang seberani Randika menerobos seorang diri ke kediaman keluarga aristokrat ini.

"Apa pun alasanmu datang ke sini, hanya kematian yang ada untukmu."

Melihat kedatangan tamu tak diundang ini, para tamu juga ikut berdiskusi dengan sesama mereka.

"Sepertinya orang itu mempunyai dukungan yang kuat, tetapi masalahnya keluarga mana yang berani menantang keluarga Alfred terang-terangan seperti ini?"

"Sepertinya ini juga campur tangan elit global, mana ada orang yang berani menantang Ivan?"

Semua kekuatan keluarga Alfred turun tangan menghadapi Randika. Ditambah dengan para pengawal dari tamu mereka, sudah ratusan orang yang mengepung Randika. Ini juga termasuk tim pembunuh elit dari keluarga Alfred.

Meskipun begitu ekspresi Randika tetap tenang. Matanya menatap Ivan yang wajahnya buruk, Jack yang terlihat terkejut, wajah bahagia Ibu Ipah, para tamu yang jijik melihatnya dan pada akhirnya matanya jatuh pada Inggrid yang berbajukan pengantin itu.

Pada saat ini Inggrid sudah berurai air mata.

Randika masih hidup, suaminya itu masih hidup!

Dunia Inggrid yang hitam putih itu kembali berwarna, hatinya yang sudah mati kembali mekar ketika melihat Randika.

Dia mengira sudah tidak akan bisa melihat pangeran berkuda putihnya itu lagi di kehidupan ini.

Pada saat ini, Inggrid ingin meloncat ke pelukannya Randika tetapi Randika yang tersenyum padanya itu tiba-tiba berkata pada dirinya.

"Dasar perempuan bodoh, kenapa kamu menangis seperti itu? Bukankah aku pernah bilang kalau kamu itu terlihat cantik ketika tersenyum?"

Ketika para tamu mendengar kata-kata Randika, semuanya memiliki dugaan tersendiri.

"Menarik, sepertinya bocah itu punya hubungan dengan Inggrid. Keluarga Laibahas memang sudah sepantasnya jatuh."

"Hahaha ini salahnya memaksa Inggrid untuk menikahi anaknya yang sudah mati, sekarang cowoknya itu datang untuk balas dendam."

"Tapi bocah itu sudah pasti gila, mana mungkin dia bisa keluar dari sini hidup-hidup?" Para tamu itu hanya bisa menghela napas mereka. "Sepertinya dunia ini sudah menjadi gila."

Ketika orang-orang itu menatap Randika, tatapan mata mereka sudah dipenuhi oleh rasa belangsukawa. Bagaimanapun juga, musuh keluarga Alfred adalah musuh mereka.

Namun, Randika sama sekali tidak peduli dengan orang-orang ini. Tatapan matanya hanya tertuju pada Inggrid. Ketika Inggrid mendengar kata-kata Randika, tangisannya makin menjadi-jadi dan dia tidak bisa berhenti menangis.

"Suamiku…" Kata Inggrid dengan nada lembut.

Sambil tersenyum hangat, Randika membalasnya. "Serahkan masalah ini pada suamimu, nanti malam kita akan kembali ke rumah bersama-sama."

Ivan berdiri dan menatap Randika lekat-lekat, hatinya sudah tidak tahan lagi. Dia berpikir bahwa lancang sekali bocah itu menganggap dirinya bisa kabur bersama Inggrid, dia pasti akan membunuh pembunuh anaknya itu.

Sebagai kepala keluarga, Ivan harus melenyapkan musuh-musuh yang berpotensi menjadi penyakit bagi keluarganya. Sekarang Randika adalah musuh nomor satunya dan dia harus segera melenyapkannya.

Ivan menendang kursinya dan kursinya itu menabrak meja.

"Karena kau berani menunjukan batang hidungmu ke tempat ini, bersiaplah untuk mati!" Teriak Ivan.

Mendengar kata-kata ini, semua orang yang mengepung Randika itu bersiap untuk menyerang. Bagaimanapun juga musuh mereka itu cuma satu orang, seharusnya jumlah mereka cukup untuk membunuh Randika.

Tetapi orang-orang yang pernah merasakan kemurkaan Randika sebelumnya menunjukan jejak-jejak ketakutan di mata mereka. Kekuatan Randika pada hari itu melekat di benak mereka dengan sempurna. Jika mereka menyerang dengan gegabah maka mereka sudah pasti akan mati dalam sekejap.

Ketika semua orang sudah mengharapkan darah mulai berjatuhan, tiba-tiba suara sirene polisi kembali terdengar. Ketika para tamu ini menoleh, mereka semua terkejut bukan main.

Kenapa polisinya begitu banyak?

Di pintu pagar rumah, para polisi sudah memblokade dengan mobil mereka. Ratusan orang sudah membidik ke arah Randika, dan di saat yang sama, lebih dari 15 helikopter sudah mengudara dan mengarahkan senapan mesin mereka pada Randika.

Tidak jauh dari sana, puluhan penembak jitu sudah mengambil posisi dan siap menembak.

Situasi macam apa ini?

Para tamu ini sudah ketakutan, mereka belum pernah melihat polisi sebanyak dan selengkap ini. Apakah mereka juga akan ikut hancur bersama keluarga Alfred?

Tetapi, mereka langsung bernapas lega ketika mereka mengetahui bahwa para polisi ini datang untuk Randika. Ratusan titik merah tersemat di seluruh tubuh Randika.

Melihat hal ini, semua orang langsung menyingkir dan bersembunyi. Inggrid pun juga bersembunyi atas perintah Randika.

Para polisi itu sudah siap menembak kapan saja, pada saat ini salah satu dari mereka mengambil pengeras suara dan berkata pada Randika. "Anda sudah terkepung, menyerahlah atau kami akan menembak."

Namun, Randika tidak peduli dengan mereka sama sekali. Tatapan matanya masih tertuju pada Ivan. Aura membunuhnya yang pekat itu semua tertuju pada Ivan, hal ini membuat nyali Ivan mengerut. Sudah jelas bahwa Randika datang untuk mencabut nyawanya.

Polisi itu mengerutkan dahinya dan berkata kembali. "Tenang kami tidak akan menembakmu selama kamu tidak melawan. Angkat kedua tanganmu dan berlutut di atas tanah."

Ivan tiba-tiba mendapatkan ide, kenapa dia tidak menggunakan para polisi ini untuk membunuh Randika?

"Kamu ditangkap atas tuntutan melanggar hukum karena membajak sebuah pesawat, melukai puluhan aparat penegak hukum, mencuri mobil milik polisi dan membuat kekacauan di dalam kota. Dan sekarang kamu telah menerobos ke dalam rumah orang, lebih baik kamu menyerah sekarang sebelum kejadian ini menuai korban yang lebih banyak." Polisi itu kemudian mendengus dingin. "Jangan pikir kamu bisa kabur lagi."

"Barkah, apakah benar orang ini telah melakukan kejahatan sebanyak itu?" Ivan tiba-tiba berteriak.

Polisi yang bernama Barkah ini menatap Ivan dan langsung terkejut. Kemudian ekspresi wajahnya itu langsung berubah.

"Aku tidak menyangka bahwa penjahat ini bersembunyi di rumah Anda." Barkah dengan cepat menghampiri Ivan, dia sepertinya memiliki hubungan yang akrab.

Ivan mengangguk, Barkah merupakan salah satu sekutu keluarga Alfred di kepolisian.

"Penjahat seperti itu tidak layak masuk ke penjara, lebih baik bunuh dia di tempat ini." Kata Ivan dengan santai.

Barkah ragu-ragu, lalu akhirnya dia mengangguk dan tersenyum. "Sepertinya Anda benar."

Pada saat ini Barkah tahu bahwa jika dia berhasil membunuh orang ini, maka keluarga Alfred akan berhutang budi padanya. Terlebih lagi, kejahatan Randika memang sudah terlalu banyak jadi tidak masalah membunuhnya sekarang juga.

Bruno, yang sudah mengejar Randika sejak dari bandara, sudah mengerutkan dahinya. Dia tahu bahwa Randika bukanlah seorang teroris.

Karena dia tahu bahwa Randika bukanlah orang berbahaya, Bruno jadi malas turun tangan. Tugasnya itu melindungi negaranya bukan sebuah keluarga orang kaya.

Ivan menatap Randika sambil tersenyum. Namun, tiba-tiba Randika berkata pada Barkah yang berada di samping Ivan. "Masalah ini adalah masalahku dengan keluarga Alfred, jangan ikut campur atau jangan salahkan aku jika aku memakai kekerasan."

Ketika mendengar kata-kata Randika, Barkah langsung marah. Dia tidak menyangka orang ini masih berani berkata lancang seperti itu.

Dengan tangannya yang terangkat, semua polisi sudah siap menembak dan senapan mesin helikopter sudah mengarah pada Randika.

"Menyerahlah atau kami akan mulai menembak!"

Barkah sekali lagi memperingatkan Randika.

"Baiklah kalau itu maumu, matilah bersama anjing-anjing tidak berguna itu."

Dalam sekejap tubuh Randika sudah dialiri oleh tenaga dalamnya.