Chapter 240 Hukuman Aran

Terlepas dari selesainya

pertengkaran Daniah dan Saga. Ada seseorang yang tidak bisa lari dari jerat

hukuman.

“ Menurutmu apa yang akan terjadi

pada Aran? Sangat jarang ada yang bisa keluar dengan menegakan kepala dari

ruangan pak Mun.”

“ Apa dia membuat kesalahan pada

tuan muda?” Merinding mendengar kata-katanya sendiri. Jangankan membuat kesalahan di depan tuan muda, dia sendiri bahkan belum pernah bicara secara langsung dengan tuan muda. walaupun sudah tiga tahun dia ada di rumah ini.

“ Hampir sebagian yang masuk ke

ruangan pak Mun keluar dengan membawa surat pemecatan.” Pak Mun bisa terlihat ramah, baik dan normal. Tapi sama seperti sekertaris Han, sikapnya akan berubah mengancam kalau berurusan dengan tuan muda. Semua pelayan di rumah ini sudah tahu itu.

Dua orang pelayan wanita yang cukup

dekat dengan Aran sedang duduk meluruskan kaki mereka di dalam kamar. Membicarakan nasih Aran ke depan. Posisi

kamar mereka yang bersebelahan juga mendekatkan hubungan keseharian diantara

mereka.  Sampai jam segini Aran  belum terlihat batang hidungnya keluar dari

ruangan pak Mun. Bahkan waktu makan malam pun sudah lewat.

“ Dia pasti belum makan malam.”

“ Tuan muda dan nona juga tidak

keluar dari kamar untuk makan malam. Sepertinya Aran benar-benar sudah terlibat

dengan urusan yang sangat berbahaya.”

Mereka mencoba menduga kesalahan

apa yang dibuat Aran, tapi tidak ada yang sampai di akal mereka berdua.

Beberapa alasan mereka sebutkan, lalu keduanya mengeleng. Karena standarisasi

kesalahan di hadapan tuan muda adalah semua atas kehendaknya.

“ Huh! Kita tunggu saja sebentar

lagi. Kau sudah bawa makanan untuk Arankan?”

“ Hemm, ini.” Dia mengeluarkan

sekotak susu dan juga jus buah. Ada coklat dan juga roti. “ Apa kita bawa mi

cup ya. Siapa tahu dia lapar.”

“ Ya sudah, ambil sana ke dapur

sama airpanasnya juga.”

Gadis itu bangun dari duduk, lalu

beranjak keluar kamar. Selang beberapa saat setelah menghilang di balik pintu,

dia membuka pintu cepat.

“ Kak! Aran sudah kembali.” Gadis

itu mengandeng tangan Aran masuk ke kamarnya.

Wajah pucat pasi Aran, tangannya

bergetar dan mulutnya komat kamit juga. Dia membawa Aran duduk di atas tempat

tidur. Mengambil sebotol jus, membukakan tutupnya.

“ Minumlah, biar kau ada tenaga.”

Dia di hukum apa sama pak Mun

sampai sepucat ini.

“ Mau makan? Kamu laparkan?” temannya

membuka bungkusan roti. Memotongnya separuh, menyuapkan ke mulut Aran. “ Pergi

ambil mi sana. Sepertinya Aran butuh makanan hangat.”

Aran masih terdiam, hanya mulutnya

yang mengunyah. Tapi dia tidak punya tenaga untuk bicara sedikitpun. Mengunyah

roti. Meneguk jus buah. Selang seling sambil di suapi. Bahunya di elus pelan.

Di tepuk perlahan juga.

“ Sabar ya Aran.”

“ Kak.” Lirih Aran bicara.

“ Ia.” Masih mengelus bahu Aran lembut.

“ Sepertinya setelah hari ini aku

akan pensiun menulis dan membaca.”

Eh kenapa? Sebenarnya hukuman apa yang di dapatnya dari pak Mun. Menulis dan membacakan hobinya selama ini.

Tapi dia tidak bertanya. Sampai mi

instan datang sekalipun, dia tidak mengobati rasa penasarannya dengan bertanya. Akhirnya mereka menyedu tiga cup, sebagai rasa solidaritas untuk

Aran. Walaupun sebenarnya mereka tidak lapar. Tapi kuah hangat dan pedas mi

instan selalu saja tetap enak di nikmati walaupun sudah kenyangkan. Aran masih

belum bicara apapun sampai mi di tangannya habis. Begitu pula kedua orang di

depannya. Walaupun setengah mati mereka penasaran, tapi mereka tetap tidak akan

bertanya.

Karena apapun yang terjadi di

ruangan pak Mun, hanya orang yang memasukinya dan pak Mun yang tahu.

Malam yang tidak akan pernah dilupakan Aran seumur hidupnya.

“ Temui pak Mun untuk

mempertanggungjawabkan kesalahanmu.” Begitu suara sekertaris Han yang kembali

bergema di telingan Aran. Diucapkan dengan wajah tanpa simpati. Bahkan

sekertaris Han langsung berbalik tidak menoleh padanya lagi.

Hati Aran sakit rasanya, seperti

dia orang asing.

Aran masih mematung di depan pintu

ruang kerja pak Mun. Belum berani mengetuk pintu, selama beberapa menit dia

masih menguatkan hatinya. Mencoba menerka, apa yang akan terjadi di dalam kalau

sampai dia memasuki pintu itu.

Kenapa dia tidak mennghukumku

langsung?

Tangan Aran terlihat bergetar.

Walaupun dia merasa senang karena bukan Han yang langsung menghukumnya, tapi

kenapa perasaannya malah ngeri. Han berjanji untuk tidak memukulnya.

Apa karena itu dia tidak mau

menghukumku, karena berpegang dengan kata-katanya kalau dia tidak akaan

memukulku. Dan sekarang menyerahkanku pada pak Mun.

Wajah laki-laki yaang kadang

bersahabat itu terngiang, Aran tidak membayangkan kalau laki-laki yang sedang

ada di dalam ruangan sedang  menunggunya

dengan tongkat rotan di tangan. Menepuk-nepuk tongkat di depan maatanya sambil

tersenyum.

Aaaaaa, aku takut! Masih mending

ibu memukulku pakai sapu. Aku masih bisa merengek.

Aran melangkah pelan. Menarik nafas

dalam, sambil tangannya sudah memegang handle pintu.

Pak Mun orang baik. Pak Mun orang

baik.

Begitu mantera yang ia ucapkan

sambil mendekati pintu. Mengetuk pintu perlahan. Membukanya dengan hati-hati.

Pak Mun orang baik. Pak Mun orang

baik.

Aran mundur dua langkah membentur

pintu lagi saat melihat pak Mun menatapnya dengan tatapan bercampur. Kesal,

marah dan jengah sekaligus menjadi satu. Perpadu di wajahnya.

Pak Mun orang baik. Begitu ulangnya

dalam hati.  Tapi dia tidak terlihat

seperti orang baik sekarang. Menjerit lagi dalam hati. Ingin berbalik dan

keluar dari ruangan ini.

“ Duduk!”

“ Ba, baik pak.” Aran cepat

mengeser kursi dan duduk di depan meja pak Mun. Mereka berhadap-hadapan. Aran

meneriksa di meja dan melirik beberapa sudut. Dia tidak menemukan benda apapun

yang bisa dipakai pak Mun untuk memukulnya. Sejenis rotan, kayu, atau pipa

begitu.

Hei Aran, diakan punya tangan.

Memang dia tidak bisa memukulmu dengan kedua tangannya itu.

Wajah Aran langsung depresi saat

melihat tangan pak Mun yang ada di atas meja.

“ Arandita!.”

“ Ia pak Mun, maafkan saya.”

Berteriak cepat sampai suaranya mengagetkan dirinya sendiri. “ Maaf.”

Menundukan kepala.

“ Kau tahu apa kesalahanmu?” Aran

masih terdiam. Dia melihat pak Mun mengeluarkan dua buah tumpukan kertas dari

dalam laci yang dia bagi dua. Bagian kanan terlihat hanya beberepa lembar,

sedangkan bagian kiri tampak mengunung. “ Katakan apa kesalahanmu?”

“ Saya membawa nona Daniah ke rumah

saya pak.” Masih tertunduk menjawab.

“ Kau membahayakan keselamatan nona

Daniah." Itu yang utama. " Dan kau melanggar aturan yang sudah dibuat oleh tuan muda.” Menyodorkan

kertas bagian kanan. “ Aku tidak tahu kenapa sekertaris Han memberimu

kesempatan memilih. Karena kesalahan seperti yang kau lakukan hari ini tidak akan di toleransi sedikitpun biasanya."

Eh, benarkah dia menolongku. Tapi tunggu, memang aku kriminal sampai membahayakan keselamatan nona. Kamikan cuma mampir ke rumaah untuk bertemu dengan ibuku. Bahayanya dimana? Ingin protes keras.

" Lalu ini." Kata-kata pak Mun menyadarkan Aran.  “ Dia memberimu pilihan. Kau di

pecat dan pergi dari sini, jangan pernah muncul di hadapan nona Daniah seumur

hidupmu.” Menyodorkan kertas di bagian kanan. “ Atau selesaikan hukumanmu malam

ini juga.” Mendorong segunung kertas di bagian kiri. " Dan kau bisa tetap bekerja di rumah ini."

Apa ini!

Tangan Aran gemetar memegang dua tumpukan kertas di depannya. Sekertaris Han memberinya kesempatan memilih. Dipecat atau menyelesaikan hukuman.

" Kenapa saya mendapat kesempatan ini pak?"

" Apa kau masih punya waktu untuk bertanya. Putuskan sekarang kau memilih yang mana?" Pak Mun melihat Aran yang binggung. " Putuskan dalam sepuluh menit."

Dipecat, pergi dari rumah ini. Artinya aku harus menghilang lagi untuk kedua kalinya. Kehilangan pekerjaan, kembali hidup serabutan di kontrakan sempit. Dan yang pasti, ya. Melepaskan kesempatan memperjuangkan perasaanku. Huh! apa untuk ini sekertaris Han menyuruhku memilih.

Aran menemukan kesimpulan penting selama dia berfikir. Kalau dia di pecat artinya hubungannya dengan Han yang belum terjalin sudah harus pecah. Bahkan sebelum di mulai.

" Saya akan menyelesaikan hukuman saya pak!" Menarik tumpukan kertas yang segunung di depannya.

Ini Apa?

" Aku tidak tahu apa motivasimu, tapi karena kau sudah memilihnya aku akan menghargainya." Pak Mun menunjuk tumpukan kertas di depannya. "Salin semua aturan yang harus kau patuhi di rumah ini. Tulis dengan tanganmu. " Lalu pak Mun mengambil lembaran kertas kosong di dalam laci. Masih sama menggunungnya. " Setelah itu buat surat permohonan maafmu. Semakin banyak semakin bagus."

Apa! gemetar-gemetar tangan Aran.

" Selesaikan malam ini juga."

" Tapi pak ini banyak sekali."

" Kalau begitu, aku sarankan, kau pilih surat pemecatan dirimu saja."

" Tidak pak! Saya bisa melakukannya." Berdiri sambil mengacuhkan tangan. " Demi gaji dan cinta." Pak Mun mengeryit mendengar teriakan Aran.

" Tulis dengan benar surat permohonan maafmu, karena tuan muda akan melihatnya."

" Ba, baik pak."

Pak Mun menatap Aran yang mulai meraih kertas kosong dan pena. Dia bangun dari duduk untuk meninggalkan Aran.

Kenapa Han sampai memberinya kesempatan begini? Dia keluar dari ruangan untuk menyiapkan makan malam masih di penuhi tanya. Bahkan dia masih mendapati sekertaris Han keluar dari ruang kerja Saga. Belum kembali pulang ke rumahnya.

" Dimana gadis itu pak? Apa yang dia pilih?" Tanya Han.

" Dia memilih tetap tinggal dan menyelesaikan hukumannya."

Tunggu, barusan Han tersenyum senangkan? Pak Mun menatap punggung Han yang meninggalkannya setelah mendengar ucapannya.

Epilog

Aaaaaaa, persetan dengan uang dan cinta, aku mau mati saja!

Aran membenturkan kepalanya ke meja berulang. Belum separuh dia menyalin buku aturan, tangannya sudah gemetar kaku.

Kalau sampai aku tidak bisa membuatmu bertekuk lutut setelah aku melakukan ini, maka. Maka apa Arandita?

" Maka aku akan pergi kencan dengan siapapun yang di jodohkan orang tuaku!, tidak! aku akan pergi kencan dengan siapapun yang mengajakku berkencan!" Berteriak keras sampai suaranya mengema di ruangan kerja pak Mun.

Bersambung