Chapter 130 - 130. Prosesi adat jawa Sindur Binayang

Silvia perlahan membersihkan kaki Ludius dengan air bunga setaman dan mengeringkannya dengan kain. Maksud dari prosesi ini adalah untuk menunjukkan bakti sebagai seorang istri pada suaminya yang menjadi kepala keluarga.

"Tuan Lu.. Apakak kamu merasa tidak nyaman dengan acara yang seperti ini?". Bisik Silvia. Dia tahu hal yang merepotkan seperti ini adalah hal yang paling di hindari Ludius.

"Tidak sama sekali, justru aku merasa seperti hidup di dunia yang berbeda. Dunia dimana kamu tinggal dengan ketenangan dan kedamaian tanpa adanya kekhawatiran. Aku bersyukur kamu hidup di dunia seperti ini bersama orang-orang yang ikut berbahagia dengan ketulusan tanpa adanya maksud lain dari senyum mereka ". Balas Ludius. Setelah membersihkan kaki, Ludius membantu Silvia berdiri dengan senyum yang berbeda. Dan ini untuk pertama kalinya Sikvia melihat Ludius memberikan senyum tulusnya di depan orang lain.

Blusssh…

Seketika hati Silvia meluruh, dadanya berbedar tidak menentu melihat senyum Ludius. Pria seperti Ludius yang selalu menunjukkan sifat dingin dengan senyum liciknya, mau memberikan senyum tulusnya didepan orang lain seperti ini membuat Silvia tidak ingin melepas pandangannya.

Prosesi selanjutnya adalah SINDUR BINAYANG berupa kain berwarna merah dan putih dari pihak Ibu keluarga perempuan. Makna dari pemberian kain Sindur adalah untuk menyatukan dan mengantar pasangan menuju sebuah masa depan.

Silvia berdiri disamping kiri Ludius dan Ibu Yuliana menyampirkan kain sindur di punggung mereka. Dengan Paman Zhuan yang berada didepan sebagai penunjuk jalan dan Ludius memegang pundak beliau dibelakangnya bermakna bahwa orang tua siap mengantar mereka kesebuah masa depan dan siap menyerahkan tanggung jawab putri mereka pada suami yang menjadi kepala keluarga. Perlahan mereka berjalan menuju pelaminan dengan di iringi Gamelan jawa dan pembawa acara yang menerangkan makna setiap prosesi yang berlangsung.

Sesampainya di pelaminan panitia mengambil keris yang ada dipunggung Ludius dan mempersilahkannya duduk dan Silvia duduk di samping kiri Ludius. Prosesi selanjutnya yaitu Kacar-kucur dengan lambang bahwa kaum pria bertanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga. Seorang ibu paruh baya memberikan kain yang berisi uang receh beserta kelengkapannya dan meminta Ludius untuk mengucurkannya pada Silvia yang sudah memegang bungkusan merah. Diam-diam Silvia mencuri pandang pada setiap prosesi yang dilakukan Ludius dan tersenyum simpul.

'Tuan Lu.. Kamu sungguh berbeda hari ini, mulai dari melakukan hal yang rumit dan merepotkan, tersenyum pada orang lain dengan wajah cerah tanpa beban. Seandainya aku bisa membuatmu seperti ini setiap saat, mungkin aku akan melakukannya selalu dan selalu agar kamu selalu tersenyum seperti ini'. Batin Silvia.

Prosesi selanjutnya adalah dulangan atau saling suap menyiapi. Seorang panitia datang membawa nampan berisi satu piring nasi kuning berserta lauk pauknya dan memberikannya kepada pasangan.

"Sayang.. Mengapa kamu diam-diam memperhatikanku? Apakah aku begitu menawan hingga menyita pandangan dan perhatianmu? ". Tanya Ludius jahil.

"Bukankah kamu terlalu percaya diri Tuan Lu!! lagi pula aku memperhatikanmu karena nasi yang ada di tangan kita. Aku hany ingin memberitahumu, Mereka memberikan ini untuk kita saling menyuapi".

"Eh.. Benarkah hanya seperti itu?. Baiklah, Sayang.. Ayo buka mulut. Biarkan suamimu ini menyuapimu". Goda Ludius.

Dengan piring ditangan mereka, Silvia dan Ludius menyuapi satu sama lain.

"Sayang.. Lihatlah, Bibirmu belepotan. Haruskah aku bersihkan dengan bibirku juga? ". Bisik Ludius jahil. seketika memalingkan wajahnya menahan malu.

"Tuan Lu.. Kamu.. Kamu jangan sembarangan bicara. Disini banyak orang tahu! ".

Ludius memegang dagu Silvia dan mengalihkan wajah Silvia kearahnya. Ludius menyeka bibir Silvia dengan ujung jarinya dengan lembut membuat para tamu undangan yang hadir terkesima.

"Sayang.. Lihatlah wajah merahmu itu, kalau kamu seperti ini terus, bisa-bisa aku tidak bisa menahan diri lho.. Yang barusan Aku hanya bercanda, mana mungkin aku menciummu ditemoat seperti inu dengan banyak orang yang memandang kita. Atau jangan-jangan sebenarnya kamu menginginkannya yah? ".

"Tuan Lu.. Apakah bercanda di tempat seperti ini adalah hal lucu bagimu?. Dasar Tuan mesum! ".

Melihat Silvia merajuk Ludius menyuapi Silvia kembali hingga harus mengunyah makanan dengan wajah cemberut. "Kalau kamu lapar, katakan saja sayang.. Tidak perlu cemberut seperti itu aku juga akan menyuapimu kok! ".

Setelah saling menyuapi, prosesi selanjunya adalah SUNGKEMAN , ini juga sebagai prosesi terakhir dalam rangkaian prosesi pernikahan secara adat.

Silvia dan Ludius beranjak dari tempat duduk mereka dan mulai memberi sungkeman kepada kedua orang tua wali mereka. Sebagai perwakilan dari orang tua Ludius adalah Paman dan Bibi Zhuan sedangkan dari pihak Silvia Ibu Yuliana dan Paman Brahmantya.

"Tuan Lu.. Apa tidak apa kamu melakukan prosesi ini? Ini adalah prosesi penting dalam rangkaian pernikahan ini". Bisik Silvia.

"Sayang.. Apa kamu khawatir aku yang seorang pembunuh dan selalu berdiri tegak didepan orang lain tidak bisa menundukkan wajahku di hadapan orang tua wali kita?. Yah.. Kalau aku tidak bertemu dengan wanita sepertimu, mungkin seumur hidup aku tidak akan pernah menundukkan diri didepan orang lain. Aku melakukan ini karena ingin menunjukkan bahwa Seorang Ludius juga pantas dan layak untuk mendampingi wanita sepertimu walau harus tunduk di hadapan orang lain sekalipun ".

Walau perkataan Ludius seperti itu, nyatanya Prosesi sungkeman mampu membuat Ludius diam-diam meneteskan air mata saat meminta restu pada Ibu Yuliana yang pernah merawatnya dulu. Ludius merasa seperti menyentuh kaki dari Ibunya yang telah lama meninggal.

'Ibu.. Aku harap ibu di atas sana melihat putramu yang berlumuran darah ini. Aku sudah melakukan apa yang ibu harapkan pada putramu ini. Menikahi seorang wanita dengan cara baik-baik tanpa menodainya. Seorang wanita yang mampu membawaku melihat sisi lain dunia ini. Seorang wanita yang mampu membuatku tunduk pada orang lain dan meleburkan kerasnya pendirianku akan ambisi. Aku harap ibu tenang dan tidak mencemaskan putramu ini. Jika masa itu tiba, pasti aku akan melepas semua ambisiku dan hidup seperti yang ibu harapkan '.