Chapter 375: Pembunuh di Kota Cendrawasih

Name:Legenda Dewa Harem Author:Lao_Ban69
Sejak makan malam di restoran itu, hati Viona masih dipenuhi dengan kebingungan.

Karena wanita adalah individu yang rapuh dan mudah terbawa perasaan, perasaan yang dirasakan Viona sekarang ini benar-benar membunuh dirinya. Bahkan Viona kemarin tidak masuk dan berusaha menghindari dirinya, jelas ini merupakan suatu masalah besar.

Sosok Viona terlihat pendiam, lembut, dan pemalu tetapi sebenarnya dia adalah perempuan yang antusias dan unik. Randika mengetahui hal ini karena hatinya sudah terkoneksi dengan Viona sejak lama, dia merasa bahwa Viona merupakan pasangan yang ideal untuk dimasukkan ke dalam anggota haremnya.

Yang dibutuhkan dirinya hanyalah berhubungan seks dengan Viona, setelah itu perasaannya pada dirinya pasti berubah.

Memikirkan hal ini, Randika tersenyum dan berjalan menghampiri Viona.

Viona sendiri sangat gugup hari ini, kejadian di restoran kapan hari masih membekas di dalam dirinya. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa ketika bertemu dengan Randika nanti. Setelah kabur dan tidak masuk kerja kemarin, dia merasa bahwa kabur seperti ini bukanlah jawabannya. Dia merasa bahwa dia harus mengundurkan diri dan keluar dari perusahaan ini.

Tetapi apakah langkah ini benar-benar merupakan isi hatinya yang sebenarnya?

Kemarin malam ketika dia mau tidur, Viona berusaha menutup matanya untuk melupakan semua ini. Tetapi yang muncul di benaknya adalah senyuman hangat Randika.

"Viona…"

TIba-tiba, di belakangnya ada suara yang memanggil dirinya. Ketika dia menyadari bahwa suara itu adalah milik Randika, tubuh Viona menegang.

"Ran…" Wajah Viona sudah tersipu malu.

"Vi, kamu kenapa?" Randika tertawa ketika melihat wajah Viona yang merah itu. Ketika dia ingin meraih dagu Viona, Randika menyadari bahwa hal tersebut tidak terlalu pantas mengingat banyaknya orang yang bekerja di tempat ini.

Randika sendiri tidak masalah dilihat oleh orang lain, tetapi Viona merupakan individu yang pemalu jadi Randika menghormati ini.

"Tidak apa-apa, aku tidak apa-apa!��� Jawab Viona.

"Terus kenapa kamu kemarin tidak masuk kantor?" Randika berdiri di depan Viona. Viona yang sekarang sama seperti anak kecil yang sedang diinterogasi oleh gurunya. Ketika Randika meremas lengannya, Viona tidak merasakan sakit melainkan kelembutan yang hangat.

"Aku tidak enak badan jadi aku minta ijin sakit kemarin." Kata Viona. Wajahnya masih terlihat sangat merah.

"Benarkah?" Randika hanya menyeringai.

"Sungguhan." Viona menganggukan kepalanya.

Dalam sekejap, Randika menyadari bahwa tidak ada orang di koridor ini sekarang. Tangan kanannya bergerak secara perlahan ke belakang dan menampar pantat Viona dengan keras. Tiba-tiba, tangan Randika memantul kembali, seolah-olah dia tangannya itu menampar sebuah bola elastis.

Tindakan Randika yang tiba-tiba ini membuat Viona ketakutan setengah mati, dia dengan cepat melirik ke Randika dan bertemu dengan senyuman nakalnya.

Randika sepertinya telah melihat keresahannya.

Ketika berpikir demikian, Viona tersipu malu.

"VI, kenapa kamu terus menghindariku? Apa kamu membenciku?"

Ketika mendengar hal ini, Viona langsung menjadi kelabakan. "Tidak! Aku tidak membencimu!"

Randika menatap lekat-lekat Viona, sudut mulutnya mulai menaik dan membentuk sebuah senyuman yang nakal. Sekali lagi, dia menampar pantat kenyal milik Viona itu.

Viona memakai celana dalam yang minim kain, jadi tamparan Randika ini benar-benar mengenai kulitnya. Yang hanya menghalanginya adalah rok tipisnya yang membalut pantatnya dengan sempurna. Namun, entah kenapa dia menikmati sensasi ini.

"Ini hukuman karena kamu berani untuk menghindariku. Apakah kamu berani melakukannya lagi?" Sifat sadis Randika mulai terpacu, dia memandang Viona dengan tatapan tajamnya.

Viona tersihir oleh bau lelaki yang dipancarkan oleh tubuh Randika, pantatnya sendiri membara karena tamparan keras Randika. Dia merasakan rasa malu di dalam hatinya, tetapi bukan hanya rasa malu saja yang ada di dalam hatinya melainkan kehangatan dan kenikmatan. Dengan perlahan, dia menganggukan kepalanya.

"Ran… kejadian di restoran itu.." Viona terlihat ragu-ragu. Dia lalu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dia berharap Randika dapat menjelaskan apa yang terjadi di malam hari itu.

"Hmm? Kenapa memangnya." Randika memasang wajah bingung. "Vi, aku tidak ingat apa yang terjadi malam hari itu, aku terlalu mabuk hari itu."

"Ah!" Kedua mata Viona terbuka lebar, dia tidak menyangka akan mendengar jawaban ini dari Randika.

"Vi, apa kamu mau ngasih tahu apa yang sebenarnya terjadi malam hari itu? Aku sudah menanyakannya pada yang lain tetapi tidak ada yang mau memberitahuku." Kata Randika.

Bagaimana mungkin Viona mengatakannya? Dibandingkan dengan Hannah dan Inggrid, wajahnya benar-benar tipis. Di bawah serangan Randika, dia telah terjebak oleh sifat licik Randika ini.

"Aku… aku juga tidak mengingatnya." Viona menggelengkan kepalanya berulang kali, dia lalu tertawa. Senyumannya itu benar-benar mekar dan membawakan sensasi segar.

"Ran, kadang aku mikir kamu itu terlalu…" Viona berhenti berbicara, dia sepertinya tidak dapat menemukan kata yang tepat.

"Terlalu tampan?" Randika membelai pipinya. "Aku sudah tahu itu dari awal."

Melihat Randika mengalihkan topiknya lagi, Viona benar-benar merasa tidak berdaya. Namun, dia tidak semalu dan setegang tadi. Jawaban Randika atas kejadian di restoran kapan hari telah membuat hatinya terasa lega.

"Ayo cepat kita masuk, semuanya sudah menunggu." Kata Randika sambil tersenyum.

Mereka berdua lalu berjalan berdampingan menuju laboratorium. Sebelum mereka masuk, para staf sedang mengobrol satu sama lain.

Jika tidak ada Kelvin, semua orang suka mengobrol dan meninggalkan pekerjaan mereka. Bagaimanapun juga, mereka sudah bekerja seharian dan merasa suntuk. Ketika Randika datang, mereka malah mengajak Randika untuk bergosip bersama-sama.

"Hei, hei, apa kalian dengar apa yang terjadi di kota kita beberapa hari ini?" Seorang laki-laki mulai membuat suaranya seperti sedang menceritakan cerita horor. "Beberapa orang telah meninggal secara misterius, ketika ditemukan jantung mereka sudah tidak ada!"

Para staf perempuan langsung menegang ketika mendengar cerita ini.

"Tidak mungkin." Jelas mereka semua tidak percaya. "Pembunuh macam apa yang tega melakukan hal itu?"

"Iya, tidak mungkin pembunuhnya melakukan hal itu. Ngapain juga dia melakukannya!" Balas mereka.

"Ini sungguhan, aku tidak berbohong." Rupanya yang berbicara adalah Adrian. "Aku baru saja membacanya di koran tadi pagi. Rupanya sebulan ini, banyak orang di kota kita ini telah menghilang secara misterius. Ketika akhirnya mereka ditemukan, mereka sudah mati dan jantung mereka sudah tidak ada!"

"Berita itu juga menyampaikan bahwa kebanyakan korban adalah wanita cantik." Lanjut Axel yang ada di sampingnya.

"Ya ampun, bagaimana ini?" Beberapa staf perempuan mulai ketakutan, mereka merasa pembunuh seperti itu benar-benar menakutkan.

"Nanti kalau kalian pulang, bacalah berita itu di koran kalian. Menurut investigasi para polisi, pembunuhnya selalu melakukan hal yang sama. Dalam satu bulan ini sudah ada 8 mayat yang ditemukan oleh mereka, tetapi sejauh ini para polisi masih belum bisa menemukan tersangkanya."

"Aduh bagaimana ini, aku jadi takut keluar sendirian. Bagaimana kalau tiba-tiba aku bertemu dengan pembunuh itu?" Wajah perempuan ini mulai memucat.

"Sudah jangan terlalu khawatir sama hal begitu, dia hanya mengincar wanita super cantik kok." Axel mulai menggoda perempuan itu supaya meringankan suasana tegang ini.

"Maksudmu apa?" Perempuan itu mulai marah. "Maksudmu aku tidak cantik?" Semuanya langsung tertawa ketika melihat Axel ketakutan.

"Ampun, ampun, aku cuma bercanda." Axel melambaikan tangannya. Perempuan yang mau memukulnya ini terkenal sebagai perempuan tomboy, dia sering menghajar laki-laki yang berani menantangnya.

"Tapi aku sarankan kalian jangan keluar terlalu malam beberapa hari ini. Sepertinya pembunuh itu beraksi di malam hari jadi jangan pernah keluar sendirian, sebaiknya kita waspada dan menghindari kejadian ini." Adrian menambahkan.

Semua orang mengangguk. Lebih baik mencegah daripada mengundang masalah untuk datang, terlebih lagi ini menyangkut nyawa mereka.

Ketika Randika melihat kumpulan karyawan ini tidak selesai-selesai bergosip, dia menirukan suara Kelvin dan berteriak. "Siapa suruh kalian santai-santai seperti ini, cepat kerja!"

Randika memakai sedikit tenaga dalamnya ketika menirukan suara Kelvin, suaranya benar-benar mirip dengan Kelvin.

Tentu saja, semua orang langsung kelabakan ketika mendengar itu dan segera kembali ke tempat duduk mereka. Kecepatan mereka benar-benar membuat Randika terkejut.

Mereka baru saja berleha-leha di depannya, detik berikutnya mereka semua sudah kembali duduk di tempat mereka masing-masing. Wajah mereka yang santai dan bahagia itu berubah menjadi serius dalam sekejap.

Dengan ini Randika bisa mengetahui betapa menakutkan sosok Kelvin di mata para karyawannya.

Viona hanya bisa tertawa lepas, adegan ini benar-benar lucu.

Para staf ini akhirnya menyadari bahwa yang berteriak tadi rupanya adalah Randika, hati mereka segera menjadi rileks.

"Pak Randika jahil sekali, kenapa bapak suka membuat kami jantungan seperti ini?" Axel mengelus dadanya.

"Pak, tolong jangan diulangi lagi. Kami benar-benar takut barusan!" Beberapa perempuan juga mulai mengeluhkan hal yang sama.

Randika hanya bisa tertawa. "Kalian saja yang penakut, masa cuma satu bentakan saja kalian langsung kelabakan."

"Siapa yang takut?!" Semuanya mulai bersemangat. "Kami tidak takut!"

"Benar, siapa yang takut?" Adrian langsung membesarkan otot dadanya. "Aku tidak takut sama pak Kelvin!"

Namun tiba-tiba, suara pintu terbuka dapat terdengar. Semua orang langsung membeku dan Adrian langsung berkeringat dingin. Sosok Kelvin dapat terlihat muncul dari balik pintu.

Kali ini, semua orang langsung duduk dengan tenang di tempat duduk mereka. Satu per satu dari mereka mulai fokus kembali bekerja.