Chapter 288: Mendaki Gunung

Name:Legenda Dewa Harem Author:Lao_Ban69
"Ibu Ipah, hari ini tolong masakin makanan yang enak!"

"Baik, ibu hari ini akan masak soto ayam kesukaanmu." Kata Ibu Ipah dengan senyuman lebar, dia lega "putrinya" satu ini sudah sembuh.

"Kak, hari ini aku akan tidur sama kak Inggrid." Kata Hannah pada Randika.

Randika yang berjalan santai itu hendak mengangguk sebelum akhirnya dia selesai memproses apa yang telah dia dengar itu. Maksudmu aku disuruh tidur sendirian gitu?

Tidak, aku tidak mau!

Melihat Randika yang menggelengkan kepalanya, Hannah menjadi cemberut.

Sesampainya di rumah, waktu sudah menunjukan pukul 7 malam. Inggrid juga baru saja pulang. Melihat kakaknya itu, Hannah langsung berlari dan memeluknya.

"Kak Inggrid!"

Menoleh, Inggrid tiba-tiba dipeluk oleh adiknya itu. Wajahnya penuh dengan keterkejutan. "Han, tumben sekali kamu datang? Kamu juga sudah lama tidak ke sini."

Melihat kakak adik itu bertukar kabar, Randika berniat mandi terlebih dahulu sedangkan Ibu Ipah mempersiapkan makan malam.

Ketika Randika selesai mandi, dia memperhatikan kakak adik itu masih berbincang di ruang tamu.

"Kak, bagaimana hubunganmu dengan kak Randika?" Tanya Hannah sambil tersenyum.

Wajah Inggrid menjadi merah. "Maksudmu apa?"

"Kak, tolong jangan pura-pura polos seperti itu. Kakak mengerti apa maksudku bukan." Senyuman Hannah benar-benar terlihat jahat. "Ayolah kak cerita, kak Randika juga sedang mandi jadi cuma ada kita berdua di sini."

Wajah Inggrid sudah merah padam, adiknya ini ingin mendengar kehidupan sexnya?

"Sudahlah kak tidak usah malu begitu. Lagipula pada akhirnya aku juga akan melakukannya. Aku cuma ingin tahu bagaimana rasanya dan apakah sakit?" Hannah masih berusaha meyakinkan kakaknya.

Inggrid sudah geleng-geleng, dengan tersipu malu dia berkata pada Hannah. "Apa kamu benar-benar ingin mendengarnya?"

"Tentu saja." Hannah segera duduk dengan tegak.

"Awalnya memang sakit tetapi Randika memastikan bahwa pengalaman pertama kakak itu tidak menyakitkan. Lama-lama enak kok rasanya, tapi kakak tidak bisa menjelaskannya secara detail." Kata Inggrid.

"Apa kakak sudah hamil?" Wajah Hannah terlihat serius.

"Belum." Inggrid membenamkan kepalanya di bantal sofa. "Kita belum membicarakan hal itu."

Pada saat ini, Randika sudah berjalan mengendap-endap ke ruang tamu. Hannah dan Inggrid tidak bisa mendengar suara langkah Randika.

Hannah lalu menundukan kepalanya. "Tapi nanti kalau kakak sudah punya anak, apakah aku masih boleh datang ke rumah ini untuk bermain?"

"Tentu saja boleh." Inggrid lalu memeluk Hannah. "Apa pun yang terjadi, kamu adalah adikku yang manis dan kamu selalu disambut di rumahku. Kakak juga berharap kamu tidak akan pernah bosan bermain bersama kakak."

"Hmmm… kalau begitu apa boleh buat, aku akan menjadi adik dan tante terbaik di dunia!" Kata Hannah sambil membalas pelukan Inggrid dengan erat.

Kedua kakak adik ini tertawa, namun pada saat ini tiba-tiba ada sebuah kepala muncul dari belakang mereka.

"Jangan lupakan aku, aku juga ingin bermain."

Inggrid dan Hannah benar-benar terkejut. Ketika mereka menoleh, rupanya kepala itu adalah kepalanya Randika.

"Kak, bisa berhenti membuatku kaget seperti itu? Lama-lama aku kena serangan jantung lho." Hannah menjadi marah.

Randika lalu berjalan menghampiri mereka dan duduk di antara Hannah dan Inggrid.

"Hei kak, ngapain kakak duduk di tengah?" Hannah makin marah. "Aku ingin bicara hal penting dengan kak Inggrid, jadi kakak tunggu saja di kamar."

"Sudahlah, aku itu kakak iparmu. Memangnya masalah apa yang ingin kamu bicarakan sampai-sampai mengusirku begini?" Randika tertawa. Di tangan kanannya ada sosok dewasa dan sexy bernama Inggrid dan di kirinya ada Hannah yang masih muda dan bersemangat.

"Ini masalah perempuan, mana mungkin kita membicarakannya selama masih ada kak Randika." Kata Hannah.

"Hahaha kamu kok marah mulu sih? Apa kamu lagi menstruasi?" Randika lalu menoleh ke Inggrid dan membelai rambutnya. "Kalau kamu merasa sakit katakan saja pada suamimu ini, aku akan membuatmu tidak merasakannya lagi."

Hannah tampak terkejut, dia lalu berkata pada Randika. "Kak, bisa-bisanya kakak bicara vulgar seperti itu."

"Ah maksudku bukan hal mesum!" Randika menyadari bahwa kata-katanya itu memang ambigu. "Maksudku aku bisa meredakan gejala sakitnya dengan akupunturku."

Hannah tertawa puas melihat Randika yang kelabakan sedangkan Inggrid tertarik dengan kata-kata Randika. "Bagaimana caranya?"

"Sini aku bantu." Randika lalu membuka baju Inggrid dan memeriksa pinggangnya. Dalam sekejap, pembuluh darah Inggrid terlihat jelas.

Melihat wajah serius Randika, Hannah tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Kak, apa kakak benar-benar bisa menyembuhkan menstruasi?"

"Bukannya menyembuhkan karena menstruasi itu hal yang wajar, yang bisa kulakukan adalah meredakan rasa sakitnya."

"Lagipula, apa kamu lupa siapa yang menyembuhkan jerawatmu itu?" Randika tersenyum. Meskipun dirinya tidak terlalu lama belajar ilmu pengobatan dari kakek ketiga, untuk masalah sepele seperti ini tentu hal yang gampang bagi dirinya.

Hannah dengan cepat mengeluarkan aura anak baiknya. "Kak, kalau begitu setelah kak Inggrid apa kak Randika bisa membantuku juga? Aku benar-benar kesakitan gara-gara menstruasiku ini."

"Bukannya barusan kamu ingin mengusirku? Buat apa aku membantumu?"

"Kak…." Hannah langsung merangkul Randika dari belakang, dia berusaha memelas. "Ayolah kak, bukankah kakak ingin adiknya sehat selalu?"

"Sudahlah Ran mengalah saja." Kata Inggrid sambil terus memegangi bajunya. Dia sebenarnya sedikit iri melihat keduanya begitu akrab.

"Iya, iya, sekarang buka bajumu juga." Sekarang tangan kanannya Randika berada di pinggangnya Inggrid sedangkan yang kiri di pinggangnya Hannah.

Setelah beberapa lama, Randika berkata pada Inggrid. "Sayang, kamu seharusnya sudah tidak ada apa-apa."

Kemudian Randika menoleh ke arah Hannah dengan wajah serius, dia lalu menggelengkan kepalanya. "Han, tubuhmu ini dalam masalah serius."

"HAH!" Hannah benar-benar terkejut ketika mendengarnya, Inggrid yang mendengarnya juga ikut gugup.

"Tapi tenang saja, kamu akan baik-baik saja kalau…"

"Kalau apa kak?" Hannah langsung menarik-narik Randika. "Kak, apa aku akan mati."

"Kamu akan baik-baik saja kalau kamu sering memberikan kakakmu ini pijatan pundak." Kata Randika sambil tersenyum.

Inggrid yang gugup itu langsung tertawa, Randika juga ikut tertawa bersamanya. Hannah benar-benar marah dan mengambil bantal yang ada di sofa lalu memukulkannya pada Randika.

"Kak Randika mesti lho, aku sudah khawatir barusan!"

"Iya, iya, aku yang salah. Aku hanya ingin menggodamu, sudah nanti aku buatkan ramuan obat dan kamu harus meminumnya."

Setelah pertengkaran kecil ini selesai, Hannah kembali berbicara. "Kak Inggrid, kalau kakak besok libur, bagaimana kalau kita naik gunung?"

Naik gunung?

Inggrid memikirkannya sebentar dan tersenyum padanya. "Boleh, kita juga sudah lama tidak naik gunung."

Hannah langsung bersemangat. "Akhir-akhir ini banyak orang yang mendaki Gunung Batu Jaya, bagaimana kalau kita ke sana?"

Inggrid mengangguk, sedangkan Randika menatap tajam pada Hannah. "Kamu benar-benar ingin naik gunung?"

"Ah aku tidak mengajak kak Randika lho." Hannah memalingkan wajahnya. "Cuma kak Inggrid saja yang kuajak."

"Kok bisa begitu?" Randika langsung panik. "Aku hanya ingin melindungimu dan kakakmu, bagaimana kalau ada orang jahat yang menggoda kalian?"

"Kita akan teriak minta tolong, lagipula tujuan kita juga ramai pengunjung jadi tidak masalah." Hannah tersenyum pada Randika, sepertinya dia masih menyimpan dendam pada Randika karena tidak pernah mengunjunginya di rumah sakit.

"Sudah tidak usah ribut begitu, kamu juga bisa ikut kok." Kata Inggrid.

Ketiganya lalu mengobrol selama satu jam, topik mereka sangat bervariasi. Setelah makan malam, sekarang waktunya untuk tidur. Awalnya, Hannah berencana untuk tidur dengan kakaknya tetapi setelah melihat wajah serius Randika, Hannah tidak berani melakukannya.

Akhirnya Hannah berdiri dengan wajah cemberut dan berkata pada kedua kakaknya. "Baiklah aku akan tidur sendiri, pastikan jangan rame."

"Maksudnya?" Wajah Inggrid terlihat bingung.

"Tentu saja apa yang akan dilakukan kak Inggrid dan kak Randika sebentar lagi, terakhir kali teriakan kalian benar-benar keras sampai aku tidak bisa tidur. Kali ini pastikan kakak jangan teriak terlalu keras." Wajah Hannah benar-benar terlihat jengkel.

Mendengar penjelasan Hannah, wajah Inggrid berubah menjadi merah. Randika, yang sedang minum air, hampir memuntahkan minumannya. Sejak kapan Hannah menjadi terus terang seperti itu?

Wajah Inggrid benar-benar merah padam, dia hanya bisa mengangguk pelan.

Melihat wajah kakaknya yang malu itu, Hannah tersenyum. "Sudah kak tidak usah malu. Mendesah nikmat itu wajar kok tetapi usahakan jangan terlalu keras nanti takutnya aku tidak bisa tidur."

Ketika Hannah masuk ke dalam kamarnya, Inggrid berbisik di telinga Randika. "Apa benar aku terlalu keras?"

Ketika berbisik, Inggrid memikirkan ketika dirinya berada di posisi kesukaannya yaitu saat dirinya di atas. Dia berpikir mungkin memang dirinya itu terlalu keras.

"Hahaha tidak usah khawatir, dia itu cuma jahil. Mana mungkin desahanmu itu sekeras itu." Randika lalu mencium Inggrid dan berkata di telinganya. "Dia itu hanya cemburu padamu."

"Lagipula, aku ingin mencoba gaya baru hari ini. Aku harap kamu siap tidak tidur." Kata Randika.

Inggrid tersipu malu, kemudian mereka berdua masuk ke sarang cinta mereka. Malam ini memang ditakdirkan sebagai malam tanpa tidur.

.........

Keesokan harinya, tiba-tiba gorden kamarnya itu terbuka dan cahaya matahari yang terang menusuk mata. Randika membuka matanya dan melihat ada Hannah di kamarnya.

"Kak jangan tidur lagi! Ayo cepat bangun, kita mau naik gunung kan hari ini."

Meskipun Hannah berkata seperti itu, Randika kembali membenamkan kepalanya ke bantal.

Hannah benar-benar marah, dia langsung mengguncang tubuh Randika tanpa henti. Namun, semua usahanya percuma, kakaknya itu tetap tidur. Tidak ada pilihan lain, Hannah kemudian menghirup napas dalam-dalam dan berteriak di telinganya Randika. "BANGUN!"

Bajingan!

Ini sudah bukan level membangunkan orang lagi, ini sudah seperti upaya pembunuhan! Sakit tahu!

Randika sampai meloncat jatuh dari kasurnya sambil menutupi telinganya. Hannah lalu berkata padanya. "Salah sendiri kakak tidak mau bangun-bangun. Sudah cepat siap-siap kalau tidak aku tinggal lho ya."

Tanpa daya, Randika hanya bisa berdiri sambil terus menutupi telinganya yang berdengung. "Jam berapa sekarang?"

"Sekarang jam 6 pagi, kak Inggrid sudah siap-siap dari tadi. Ini tinggal kak Randika saja yang belum siap."

Mendengar jam 6 pagi, Randika kehabisan kata-kata. "Ini baru jam 6 pagi, biarkan aku tidur lagi."

"Jangan tidur lagi kak!" Wajah Hannah yang sekarang sudah mirip setan, Randika tidak berani melawannya lagi. "Iya, iya, kakak cuma bercanda. Ini sebentar lagi aku siap-siap."

Randika yang garuk-garuk kepala itu segera bersiap untuk mencuci muka. Setelah sarapan pagi, mereka bertiga bersiap menuju gunung Batu Jaya.

Gunung Batu Jaya

Di dekat kota Cendrawasih, terdapat beberapa gunung. Meskipun gunung-gunungnya tidak tinggi-tinggi, tiap gunung memiliki daya tarik sendiri. Sebagai contohnya adalah gunung Kelok tempat Randika menjadi raja drift sebelumnya, tempat itu memang terkenal dijadikan sebagai tempat balapan.

Dari semua gunung, yang sekarang lagi populer adalah gunung Batu Jaya. Gunung ini tidak terlalu tinggi dan curam sehingga cocok untuk pendaki pemula. Ketika berada di puncak, kita juga disuguhkan oleh pemandangan yang indah. Oleh sebab itu, gunung ini sangat popular di kalangan masyarakat yang ingin mendaki dengan santai.

"Hahaha kak Inggrid benar-benar lambat." Hannah yang bersemangat itu berlarian penuh tenaga. Ketiga orang ini sudah sampai di kaki gunung dengan menggunakan bis.

Karena hari ini merupakan akhir pekan, banyak orang yang datang untuk mendaki.

Setelah memastikan barang bawaan, mereka sudah siap untuk mendaki gunung yang indah ini.