Chapter 171: Petunjuk (2)

Name:Legenda Dewa Harem Author:Lao_Ban69
"Kenapa?" Deviana menatap Randika dengan wajah bingung.

"Kalung ini punya Christina, aku pernah lihat dia memakainya." Kata Randika. "Dan tadi pria berengsek ini memakainya."

Kali ini, tatapan tajam Deviana jatuh pada Rio.

Di bawah tatapan tajam dua orang, Rio ingin menangis darah. Memangnya ada apa dengan kalung itu?

"Di mana kau mendapatkan kalung itu?" Tanya Deviana dengan nada dingin. "Jangan coba-coba berbohong atau temanku ini akan menyakitimu lagi."

Rio menjawab dengan senyuman pahit. "Kalung itu aku dapat dari bosku tadi malam."

"Bosmu?" Tatapan mata Randika benar-benar dingin. "Bagaimana dia bisa mendapatkannya? Jelaskan padaku."

Dengan tubuh gemetaran, Rio menjawab. "Kemarin malam aku dan teman-teman sedang jalan-jalan di sekitar sini. Terus kami lihat ada wanita cantik jalan sendirian dan jalanan terlihat sepi. Teman-temanku memutuskan untuk menculiknya."

"Apa?" Deviana tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Kasus penculikan memang jarang terjadi di kota ini, tetapi dia tidak menyangka bahwa proses penculikan akan terjadi hanya karena ada kesempatan bukan dengan perencanaan detail.

Randika lalu bertanya. "Lalu?"

Nada suara Randika benar-benar menyeramkan bagi Rio, dia menjadi ragu dan berhenti berbicara. Randika menjulurkan jari telunjuknya dan menaruhnya di atas dada Rio, Rio merasa tulangnya akan patah.

"Setelah kita mengikatnya, kita ingin memperkosanya tetapi wanita itu memberontak terus. Terlebih dia melukai salah satu temanku jadi kita kirim wanita liar itu ke bos sebagai hadiah. Oleh karena itu bos memberikanku balasan berupa kalung emas ini."

Dengan tubuh basah oleh keringat, Rio memperhatikan ekspresi Randika. Dia takut ceritanya tidak dapat memuaskan orang mengerikan itu.

Tapi tanpa diduga, jari telunjuk Randika terangkat dan telapak tangannya berada di dadanya. Dengan dialiri sedikit tenaga dalamnya, rasa sakit segera menyebar di seluruh tubuh Rio.

"AH!!"

Suara rintihan kesakitan ini tidak dapat terdengar, Randika dengan cepat menutup mulutnya dengan tangan kirinya.

"Bagaimana keadaan perempuan itu?" Tanya Deviana.

"Aku tidak tahu. Aku sama sekali tidak tahu keadaannya semenjak kuberikan pada bos." Ekspresi Rio benar-benar kesakitan, dia sama sekali tidak bisa menggerakan tangan Randika yang ada di atas dadanya.

"Tunjukan jalannya." Kata Randika sambil menendangnya.

Rio berdiri sambil menahan rasa sakitnya, rasa benci mulai memenuhi hatinya. Dia ingin menggunakan kesempatan ini untuk kabur. Tetapi, dari belakang Randika berbisik padanya. "Jika aku tidak melihat wajah bosmu dalam setengah jam, nyawamu akan melayang dari dunia ini."

Singkat, padat dan jelas, ancaman Randika benar-benar membuat Rio tidak berani berbuat macam-macam.

Rio merasa bahwa ancaman itu nyata dan membawa kedua orang ini ke markas bosnya.

Deviana mengabari kantornya dan menolak bantuan yang akan dikirimkan. Kemungkinan besar dia akan menemukan markas perdagangan manusia, jadi dia tidak boleh membuat orang-orang tersebut waspada. Kejahatan seperti ini benar-benar tersembunyi dan biasanya memiliki mata di kepolisian.

Setengah jam kemudian, Rio membawa Randika dan Deviana ke bangunan terpencil di bagian barat kota. Mereka dibawa ke distrik yang dikenal sebagai Sin City kota Cendrawasih. Tempat ini dipenuhi oleh prostitusi, tempat perjudian ilegal, sarang narkoba dll. Tingkat kejahatannya merupakan yang tertinggi daripada tempat lain.

Para aparat penegak hukum sudah menutup mereka terhadap tempat ini tetapi pelaku kejahatan yang bertindak terlalu lewat batas seperti membunuh atau merencanakan serangan teroris maka mereka tidak akan sungkan-sungkan menangkap dan memenjarakan.

"Ini tempatnya…" Rio menoleh dan mempersilahkan Randika untuk masuk. Namun, Randika mengangkat tangannya dan menamparnya dengan keras. Seluruh tubuh Rio berputar bagaikan sedang menari balet dan jatuh pingsan tanpa bisa berkata apa-apa.

Setelah itu Randika dan Deviana masuk bersama-sama.

Berjalan di gedung terbengkalai ini, kedua orang ini segera dihadang oleh 2 orang preman dengan tongkat bisbol di tangannya.

"Siapa kalian?" Ketika dua preman ini melihat kedua orang asing ini, tatapan mereka justru jatuh pada tubuh sexy milik Deviana. Karena Deviana tidak ingin identitasnya sebagai polisi membuat kegaduhan di distrik ini, dia memakai baju santainya yang sederhana. Namun kemolekan tubuhnya masih tidak dapat dia sembunyikan.

Kedua mata mesum itu terus menatap dada dan pantat Deviana. Sayangnya, kedua mata itu harus terpejam beberapa saat.

DUAK!

Keduanya mendapatkan pukulan bertenaga dari Randika, dalam sekejap mereka sudah pingsan tak sadarkan diri.

Randika mengibaskan tangannya dan menggeledah kedua preman itu. Deviana lalu berjongkok dan hendak memborgol mereka.

"Mereka ini cuma ikan teri, ikan kakapnya ada di dalam. Lebih baik kamu menyimpannya buat orang yang lebih layak memakainya." Kata Randika sambil menggeledah.

Deviana mengangkat kepalanya dan menyadari bahwa Randika sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Dari mana Randika tahu apa yang akan dilakukannya tanpa menoleh?

Meskipun masih banyak pertanyaan tentang Randika yang menggenang di hatinya, Deviana menyusul Randika yang sudah berjalan agak jauh darinya.

Di dalam gedung terbengkalai ini, terdapat beberapa preman di dalamnya.

"Giliranku, flush sekop!" Seorang preman mengeluarkan 5 kartu sambil merokok.

"Bajingan, kartumu bagus-bagus daritadi!" Lawannya murka karena kartunya dari tadi jelek.

"Kalah ya kalah, jangan banyak alasan." Preman itu mematikan rokoknya dan sudah tidak sabar mengambil uang teman-temannya itu.

Selain dari empat orang yang sedang bermain kartu itu, beberapa orang lainnya sedang asyik minum. Di tengah-tengah meja terdapat banyak jenis alkohol, makanan, cemilan.

Kelompok lainnya terlihat hanya sedang mengobrol sambil merokok.

Ketika Randika dan Deviana masuk, mereka sama sekali tidak memedulikannya.

Randika hanya berdiri diam sambil memperhatikan mereka, para preman itu sama sekali tidak mencurigai dirinya.

"Full tujuh!"

"Tuh kan, kamu pasti curang. Dari tadi kamu dapat 5 kartu terus, kamu pasti curang."

"Lha? Kamu sendiri yang mengocok kartunya bukan? Kok malah nuduh aku curang? Sudah sini mana uangmu!"

Deviana mengerutkan dahinya, dia merasa bingung. Kenapa pemandangan ini mirip seperti kantornya?

Tapi perbandingan ini sedikit tidak sopan, teman-temannya tidak akan berjudi dan mabuk-mabukan di tempat kerja.

Randika lalu menghampiri preman yang sedang asyik minum. "Aku mencari bosmu."

"Bos ada di lantai dua, naik sendiri saja sana." Preman itu lanjut meminum birnya.

Deviana terkejut mendengarnya, dia tidak tahu harus tertawa atau merasa kasihan pada si bos.

Di lain sisi Randika sama sekali tidak peduli, dia berjalan melewati kerumunan penjahat ini dan berjalan ke lantai 2.

Deviana mengekorinya sambil terheran-heran, mereka sama sekali tidak dicegat oleh orang-orang ini!

Ketika mereka sudah menaiki tangga, preman yang memegangi botol birnya itu mendadak teringat sesuatu. "Siapa tadi ya? Aku tidak pernah melihat orang itu dan dia mencari si bos."

"Aduh ikan teri seperti kamu itu tidak tahu apa-apa. Kalau dia mencari bos, berarti dia sedang mencari narkoba jadi biarkan saja. Sudah minum lagi sini, hari ini kita akan memecahkan rekor minum terbanyak kita sebelumnya!"

Pada saat ini, Randika dan Deviana sudah di lantai 2. Saat mereka masuk ke dalam ruangan, mereka melihat seorang pria gemuk sedang menggulung kertas. Pria gemuk itu menunduk dan menghisap yang sepertinya heroin di atas meja.

HISS…

Pria itu merasa dirinya sudah melayang di atas awan. Dia sama sekali tidak menyadari Randika yang duduk di hadapannya.

"Sialan, barang ini selalu nendang."

Setelah sekian lama, pria itu akhirnya membuka matanya dan menyadari ada sosok aneh di hadapannya.

Pandangannya yang masih kabur itu membuatnya berpikir dia masih berhalusinasi.

Namun dalam sekejap, setelah dia dapat melihat dengan jelas, pria itu mengeluarkan pistolnya dan membidik ke arah Randika,

Klik!

Bos para preman ini menembakan pistolnya tetapi ternyata tidak ada pelurunya. Pada saat ini, Randika mengangkat tangannya dan peluru mulai berjatuhan dari genggaman tangannya.

"Apa kamu menculik seseorang kemarin?" Tanya Randika dengan wajah datar.

"Siapa kamu?" Bos ini berwajah tenang, selama hidup di dunia kejahatan tidak ada yang dia takuti.

Namun yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa bawahannya itu semua membiarkan penyusup ini masuk ke dalam ruangannya? Apa mereka semua sudah dia kalahkan?

Dan pada saat ini, suara di lantai bawah makin gaduh dan semua preman yang mabuk itu mulai bernyanyi bersama.

Suasana benar-benar gaduh dan meriah sedangkan bos mereka di lantai 2 hanya bisa menatap Randika dengan topeng tenangnya sambil menahan rasa takutnya.

Deviana berdiri di depan pintu, dia bertugas untuk memastikan tidak ada pengganggu.

"Kalau kau berbohong atau jawabanmu tidak memuaskanku, aku akan mencabut nyawamu itu." Kata Randika dengan wajah dingin.

"Kau mau membunuhku? Hahaha." Bos ini tiba-tiba tertawa dan suara tawanya itu menggema keras.

"Sudah banyak orang yang mengancam membunuhku dan mereka semua tidak ada yang berhasil. Kau kira aku takut?"

Randika menggelengkan kepalanya. "Percuma kamu pura-pura sombong begitu tapi pada akhirnya memanggil anak buahmu."

Bos itu terlihat terkejut, lawannya ini tahu dia sudah memanggil bantuan?

Dalam sekejap, para preman yang sedang asyik mabuk-mabukan di bawah segera naik ke lantai 2 sambil membawa senjata mereka.

"Bos! Ada apa?"

"Bos! Kau baik-baik saja?"

Para preman ini segera mendobrak masuk dan menyadari sosok Randika.

"Dev, bersembunyilah." Kata Randika pada Deviana.

Deviana segera bersembunyi di pojok ruangan sedangkan Randika berdiri sambil terus menatap si bos. Si bos itu lalu berkata dengan nada arogan. "Aku suka nyalimu yang besar itu. Benar kemarin aku menculik seorang perempuan dan tubuhnya benar-benar sesuai dengan seleraku! Hahaha."

Aura membunuh Randika segera menyebar ketika mendengar kata-kata itu. Bos para preman itu merasakan firasat buruk dan membentak bawahannya. "Ngapain diam? Cepat bunuh penyusup itu!"

Tetapi sosok Randika yang ada di hadapannya itu menghilang dan meninggalkan jejak teriakan kesakitan.

"Ah!"

"Arghh!"

"Tidak!!"

Teriakan itu tidak lama, hanya butuh 5 detik dan keadaan kembali sunyi senyap.

Dalam sekejap pula, Randika sudah berada di belakang bos tersebut.

"Hari ini kita akan bersenang-senang." Kata Randika sambil tersenyum dan membenturkan kepala pria gemuk itu ke atas meja.

Bos preman ini berteriak kesakitan, dia lalu bersumpah akan membunuh Randika. Deviana, tahu apa yang akan terjadi berikutnya, segera menutup matanya.

Randika lalu menjambak rambut si bos dengan satu tangan dan memukulnya hingga hidungnya patah.

"Di mana perempuan yang kau culik kemarin?" Tatapan Randika sudah bagaikan pembunuh berdarah dingin. "Jika kau tidak berbicara, aku akan membunuhmu sekarang juga!"