Chapter 121: Kami Ini Pedagang

Name:Legenda Dewa Harem Author:Lao_Ban69
Melihat kunci kamarnya, Randika entah kenapa merasa murung. Kenapa dirinya bisa pisah kamar dengan istrinya itu?

Mengingat kejadian di kota Merak, Randika tersenyum lebar.

Dia harus tidur dengan istrinya mala mini!

Berdiri di koridor, Randika memperhatikan sekelilingnya. Di serong kanannya adalah kamar Viona dan kamar Inggrid berada di samping kanannya persis. Ketika Viona melihat tatapan Randika, dia tersenyum manis dan masuk ke kamarnya. Sedangkan Inggrid menatapnya tajam lalu masuk ke kamarnya.

Orang-orang dari perusahaannya juga sudah memasuki kamar mereka.

Dalam sekejap tinggal Randika saja yang ada di koridor.

Setelah beberapa saat, Randika berjalan ke kamar Inggrid dan mengebelnya.

"Siapa?" Suara Inggrid terdengar dari dalam.

"Sayang, aku ada perlu sama kamu." Kata Randika sambil tertawa.

Ketika Inggrid membuka pintunya, Randika langsung menerjang masuk dan duduk di sofa.

"Kenapa? Masalah apa yang ingin kau bicarakan?" Inggrid terlihat waspada sekaligus penasaran.

"Tidak ada apa-apa." Randika lalu berdiri dan memeluk Inggrid. Dia lalu berbisik. "Apakah kamu sudah lupa dengan hari-hari indah kita di kota Merak?"

"Jangan sekali-kali kau punya pemikiran seperti itu." Inggrid mendorong Randika. "Cepat kembali ke kamarmu. Aku tidak mau terlihat bersamamu di kamarku sama para bawahanku."

"Sayang, tidak ada orang yang akan melihat kita." Randika lalu duduk di sofa. "Lagipula, kamarmu yang luas ini terlalu luas untuk satu orang. Aku khawatir kamu akan kesepian."

Inggrid hanya menatap tajam Randika. "Kamu sudah masuk ke kamarmu? Semua kamar yang kupesan semuanya seluas ini."

"Hahaha." Randika tertawa canggung. "Yah bagiku itu tidak sama. Aku hanya ingin menghabiskan hariku dengan istriku tercinta. Dan aku sudah memutuskan untuk tidur di kamar ini bersamamu."

"Terserah kau mau ngomong apa, aku tidak akan membiarkanmu menyentuhku." Kata Inggrid dengan muka dingin.

"Lho, kamu mau ke mana?" Randika terlihat panik, dia berusaha mencegah Inggrid pergi. "Aku hanya ingin tidur di sampingmu, tidak ada niatan lain."

Inggrid sama sekali tidak menoleh. Pria ini memang bajingan dan tidak tahu diri, pikirnya.

"Tidur sendiri sana, aku mau mandi."

Inggrid lalu pergi ke kamar mandi dan menguci pintunya rapat-rapat.

Dalam sekejap Randika duduk sendirian di ruangan yang luas ini.

Randika lalu memperhatikan baju dan celananya. Dia baru saja kembali dari pantai dan banyak pasir menempel di pakaiannya. Perasaan gatal mulai melanda tubuhnya. Dia lalu berpikir untuk mandi.

"Kalau begitu, aku juga mandi ah."

Meninggalkan kamar Inggrid, Randika pergi menuju kamarnya.

............

Setelah merasa segar setelah mandi, bel pintu kamar Randika bunyi. Randika lalu membukanya dan beberapa perempuan berdiri di depan pintunya.

Rupanya orang-orang ini adalah Inggrid, Viona dan beberapa perempuan lainnya dari departemennya.

"Kita mau pergi nyari makan, apakah kamu mau ikut?" Kata Viona sambil tersenyum.

"Makan?" Randika tersenyum. "Tentu saja aku mau!"

Setelah berganti baju, Randika pergi dengan para perempuan ini.

Awalnya Randika mengikuti mereka karena khawatir pada Inggrid. Dia takut status Inggrid sebagai bos akan membuat para perempuan lainnya sungkan dan takut padanya.

Namun, kekhawatirannya ini ternyata berlebihan. Mereka menganggap Inggrid sebagai temannya saat di luar pekerjaan. Meskipun Inggrid jarang berbicara, terlihat bahwa mereka semua berteman baik.

Randika berjalan di paling belakang sambil mendengar omongan mereka. Mulai dari pembicaraan mengenai artis idola mereka, makeup, kehidupan sehari-hari mereka bahkan hewan peliharaan mereka, akhirnya topik mengarah pada apa yang akan mereka makan.

"Makanan di dekat pantai itu enak-enak. Kapan hari aku pernah makan seafood mereka dan itu benar-benar luar biasa enak! Jadi lebih baik kita ke sana sambil menikmati bir." Saran salah satu orang.

"Aduh aku kurang suka seafood nih, malas kotor-kotornya aku. Bagaimana kalau Chinese food saja?" Kata salah satu lainnya. "Kita bisa makan tengah."

"Kalau begitu, Bu Inggrid mau makan apa?" Tanya salah satu dari mereka pada Inggrid.

"Aku makan apa saja bisa kok." Kata Inggrid sambil tersenyum.

Semuanya mulai berdebat ingin makan apa. Semua yang mereka sarankan terdengar enak.

"Kalau begitu, mungkin Randika ada saran apa?" Viona melempar tanggung jawab ini pada Randika.

Randika yang sedang melamun ini terkejut, dia lalu berkata dengan santai. "Bagaimana kalau kita ke food truck? Aku tadi melihat ada sekumpulan food truck parkir di dekat pantai."

Food truck?

Viona tersenyum dan salah satu temannya juga mendukung saran Randika. "Itu terdengar enak."

Semuanya mengangguk dan terlihat setuju. Inggrid lalu berkata sambil tersenyum. "Baiklah, kalau begitu kita akan makan di food truck yang ada di pinggir pantai."

"Wah Bu Inggrid saja sampai setuju, ayo tunggu apalagi! Aku sudah lapar nih."

Semuanya tertawa lepas dan tidak butuh waktu lama untuk mereka sampai di tujuan.

"Di sana kosong!" Setelah mendapatkan 2 meja berjejer, mereka lalu mengambil menu dan pesan satu per satu.

Randika lalu memperhatikan kumpulan food truck ini. Tempatnya tidak terlalu besar tetapi orang-orang memenuhi tempat ini.

Bermodalkan pemandangan pantai dan konsep makanan yang berbeda, tempat ini berhasil menarik minat para pengunjung.

Di meja, obrolan para perempuan ini semakin menjadi-jadi. Bahkan Randika dipaksa ikut berdiskusi dengan mereka.

Untungnya saja, makanan mereka akhirnya datang dan semuanya langsung fokus dengan makanan mereka.

"Wah ternyata enak sekali makanannya." Beberapa orang mulai berkomentar. Randika di lain sisi hanya terdiam. Dia belum makan apa-apa dari siang tadi dan setelah berbicara terus-menerus dengan para perempuan ini, dia sangat lapar.

Setelah makan dan bercanda ria, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Inggrid berinisiatif meminta tagihannya dan berniat untuk membayarnya. Namun, dia segera mengerutkan dahinya. "Apa? Semuanya ini 5 juta?"

"Lima juta?" Semuanya terkejut. Lelucon macam apa ini? Cuma 7 orang yang makan dan habisnya 5 juta?

"Sini aku lihat."

Randika dengan cepat mengambil tagihan itu, dia melihat angka-angka ini tidak masuk akal. Sebagai contohnya dia melihat harga udang yang mencapai 200 ribu! Padahal mereka hanya mendapatkan udang berukuran sedang sebanyak 5 biji.

Semua makanan harganya sama seperti udang itu, tidak masuk akal.

"Permisi, apakah saya bisa mengambil tagihannya." Orang yang memberikan tagihan pada Inggrid kembali ke mejanya dan ingin mengambil uangnya.

"Permisi, apakah ini tidak salah? Bagaimana mungkin totalnya sampai 5 juta?" Inggrid mengerutkan dahinya.

"Permisi boleh saya lihat dulu tagihannya." Pelayan itu lalu mengambil tagihan tersebut. "Tidak ada yang salah menurut saya, harga yang terlampir dengan total seharusnya tidak ada masalah."

"Aku bukan mempermasalahkan itu. Yang aku permasalahkan adalah harga di menu dan di tagihan benar-benar berbeda!"

"Oh maksud Anda adalah harga di menu." Pelayan itu menyeringai. "Maaf, mungkin Anda tidak melihatnya dengan baik."

Inggrid lalu mengambil menu yang ada di mejanya dan melihatnya kembali. Dia lalu menunjukan perbedaannya, tetapi si pelayan itu hanya berkata dengan santai. "Tolong dilihat bagian bawahnya."

"Harga makanan kami akan naik apabila berada di musim liburan dan kami bisa menaikannya sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan. Apabila ada keluhan, maka pelanggan dianggap lalai tidak memperhatikan peringatan yang sudah kami cantumkan di bawah ini." Inggrid membaca peringatan yang ukurannya sangat kecil ini. Tiba-tiba semua orang mulai memaki-maki.

"Kalian ini perampok?" Salah satu dari mereka mulai marah. "Kok tidak sekalian saja kau rampok tas kami?"

"Ibu, Anda terlalu berlebihan. Kami ini pedagang, kami mencari untung dengan melihat kondisi pasar. Kami sudah memberikan peringatan sebelumnya di menu kami. Jadi kalau Anda merasa tertipu, itu bukan tanggung jawab kami." Pelayan itu menyeringai pada tamu-tamunya itu.