Chapter 104: Kekacauan di Depan Hotel Melati (2)

Name:Legenda Dewa Harem Author:Lao_Ban69
Gunawan sudah berkeringat dingin, dia sama sekali tidak tahu identitas perempuan ini. Tapi dari gelagatnya, orang ini bukan orang sembarangan.

Yosua menatap perempuan itu dengan gugup, dia tidak tahu harus berbuat apa. Elva lalu membawa Gunawan ke pojokan dan mengeluarkan sebuah token dari balik saku bajunya. Tiba-tiba, wajah Gunawan dengan cepat menjadi pucat dan tegang.

"Maafkan aku, aku tidak tahu bahwa Anda berada di kota ini." Dengan cepat Gunawan menundukan kepalanya. Perempuan ini adalah salah satu anggota dari organisasi paling misterius di dalam negeri, dia benar-benar tidak beruntung bisa bertemu dengannya.

Sebagai salah satu pentolan di dunia kepolisian, Gunawan mengetahui bahwa ada sebuah organisasi misterius yang berjalan di negara ini. Semua anggotanya adalah yang terbaik dari yang terbaik dan mereka bagaikan hantu. Tidak ada yang tahu tugas maupun keberadaan mereka.

Tetapi yang dia tahu adalah tiap anggota organisasi tersebut memiliki hak istimewa yang mutlak. Kata-kata yang keluar dari mereka sama beratnya dengan presiden.

"Aku tidak peduli masalahmu apa dengan orang itu tetapi aku ingin kau tidak menyentuh orang itu sama sekali." Elva mengambil kembali tokennya. "Jika kau menyentuh ujung baju orang itu, aku akan menguburmu dalam-dalam. Paham?"

"Saya paham." Gunawan terus menundukan kepalanya.

"Jangan pikir kita tidak tahu transaksi gelapmu selama ini, jika aku mau kau bisa mendekam di penjara detik ini juga."

Mendengar hal ini, wajah Gunawan dengan cepat menjadi pucat. Ancaman perempuan ini benar-benar nyata.

Dikatakan bahwa anggota Arwah Garuda sudah dilatih untuk unggul dalam semua kemampuan, bahkan ada desas-desus bahwa mereka bisa mengetahui apa yang kau cari di internet bertahun-tahun yang lalu.

Tetapi di dalam hatinya Gunawan bernapas lega. Untuk sekarang belum ada aksi sama sekali yang memberatkan dirinya yang berarti masih ada ruang untuknya untuk berbenah diri.

"Lagipula," Elva lalu menatap Randika dan menoleh kembali. "jika kalian terbunuh barusan, berita kalian terbunuh sama sekali tidak akan keluar. Kau paham maksudku?"

"Iya." Berarti jika tadi semua bawahannya dan dirinya terbunuh, Randika tidak akan terkena konsekuensi hukum apa pun. Malahan dirinya bisa diberitakan kabur membawa seluruh uang kotornya selama ini. Inilah keuntungan dari manipulasi berita dan menjadi anggota Arwah Garuda.

"Baiklah, kau seharusnya sudah mengerti apa yang harus kau lakukan setelah ini." Elva lalu meninggal Gunawan yang masih menundukan kepalanya itu.

Dengan cepat, sosok Elva menghilang dari lokasi.

Wajah Gunawan sudah kembali memiliki warna. Mungkin, dia telah selamat dari kejadian yang bisa menghancurkan hidupnya. Ketika dia berjalan kembali ke Yosua, Yosua bertanya. "Siapa perempuan itu?"

"Jangan menanyakan hal yang tidak ingin kau ketahui." Gunawan menatap tajam Yosua kemudian menghampiri Randika sambil mencopot topinya.

Melihat kepala polisi itu mendekat, Randika dengan santai mengatakan. "Jadi masih perlu aku datang ke kantormu?"

"Hahaha tadi aku bercanda." Gunawan tersenyum pahit. "Aku benar-benar minta maaf. Aku ini orang bodoh jadi sering melakukan kesalahan seperti ini."

Randika tertawa puas di dalam hatinya. Elva benar-benar membantunya hari ini.

"Aduh jangan begitu, lagipula aku dengan kantor polisi di kota Merak punya gedung yang megah. Aku ingin melihatnya." Goda Randika.

"Bangunan kami sempit dan kotor, orang hebat seperti Anda pasti merasa kotor di sana." Gunawan sudah ingin menangis, pertama kalinya dia menunduk serendah ini ke orang.

Terlebih lagi, perempuan tadi mengatakan bahwa jika dia menyentuh ujung baju orang ini maka transaksi gelapnya selama ini akan terkuak pada publik. Jadi candaan Randika barusan ini benar-benar tidak lucu baginya.

"Aduh bapak ini ngomong apa? Sudah jelas bawahan bapak di atas itu terluka gara-gara saya. Sudah tangkap saja aku sekarang, aku bertanggung jawab atas aksi cerobohku itu."

Gunawan benar-benar lupa akan hal tersebut. Orang ini benar-benar tahu cara merendahkan orang!

"Hahaha semua anak buahku itu terpeleset hingga pingsan, ini bukan salah siapa-siapa." Kata Gunawan sambil tersenyum. "Aku akan menegur mereka agar berhati-hati lain kali."

"Bukannya tadi kau mengatakan bahwa itu salahku? Semuanya pasti mendengarnya dengan jelas lewat megafonmu itu." Wajah Gunawan benar-benar putih ketika mendengarnya.

"Sudahlah pak, aku mengaku bahwa semua itu adalah salahku. Tidak baik melanggar hukum itu, aku harus dibawa ke pengadilan." Kata Randika sok bijak. Namun, semakin Randika berbicara semakin Gunawan ingin menangis. Dia berharap orang ini segera pergi, hati tuanya ini sudah tidak tahan.

"Itu semua hanyalah salah paham. Mana mungkin orang baik seperti Anda melukai polisi? Semua itu hanyalah salah paham!" Gunawan sudah tidak tahu berapa ember keringatnya ini merembes keluar. Harapan satu-satunya adalah orang ini segera melepaskan dirinya.

Tangan Gunawan benar-benar terikat, dia tidak bisa menyentuh orang ini sama sekali.

"Berarti bukan aku yang melukai mereka hingga pingsan? Apakah aku tidak salah dengar barusan?" Randika pura-pura bingung, tetapi dalam hatinya dia tersenyum lebar.

"Tidak, tidak, tidak. Aku bersumpah atas namaku." Gunawan dengan cepat menjawab. "Anda adalah warga negara yang baik dan merupakan tugas kami untuk melindungimu."

"Terus buat apa kau memanggil semua orang ke sini?" Randika menoleh ke arah polisi yang masih berwajah tegang itu.

"Hahaha mereka semua terkejut ketika mendengar temannya itu terpeleset hingga pingsan, mereka buru-buru ke sini untuk menengok mereka." Kata Gunawan sambil tersenyum.

"Kau memang punya wajah yang tebal, aku suka." Kata Randika sambil tertawa.

Ketika Randika tertawa, Gunawan ikut tertawa. Selama pihak lain senang, aku juga ikut senang.

"Kalau begitu, apakah aku boleh…." Gunawan bertanya dengan hati-hati.

"Iya, pergilah. Aku sudah puas." Randika mengibaskan tangannya.

Ketika Gunawan baru melangkah sekali, Randika berteriak padanya. "Tunggu!"

Ya Tuhan, salah apa hambamu ini?

Ketika menoleh, Gunawan sudah memasang topengnya.

"Tidak usah tegang seperti itu. Aku hanya ingin mengingatkan, selama aku di kota ini, aku tidak ingin diganggu sama sekali." Kata Randika.

"Jangan khawatir, siapapun yang berani mengganggumu maka dia adalah musuh dari seluruh kepolisian kota ini!" Gunawan dengan cepat menunduk hormat.

Gunawan lalu berbalik dan meninggalkan Randika. Dia sudah tidak bisa membedakan celananya yang basah itu karena keringat atau dia sedikit mengompol.

"Gun, apa-apaan tadi itu?" Yosua segera menghampiri temannya itu. Ketika dia melihat Gunawan menunduk pada Randika, dia merasakan firasat buruk.

Apa Randika mempunyai teman di kepolisian yang lebih kuat?

Oleh karena itu, Yosua harus memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

"Jangan pernah mengontakku lagi." Gunawan lalu mendorong Yosua, orang yang hampir menjatuhkan dirinya dari singgasananya. Dia lalu menambahkan. "Lain kali, jika kau ingin mati jangan bawa-bawa aku!"

Gunawan lalu meninggalkannya dan menyuruh anak buahnya membawa teman-temannya yang pingsan di lantai 9 itu.

Ketika mendengar respon tersebut, Yosua benar-benar terkejut. Bisa dikatakan bahwa selama ini dia bekerja sama dengan Gunawan untuk menguasai kota Merak ini baik luar maupun bagian dalamnya. Terlebih, dari Gunawan lah Yosua bisa mengetahui banyak hal.

Bisa dipastikan bahwa perempuan sebelumnya itu telah mengatakan sesuatu pada Gunawan. Karena setelahnya, perilaku Gunawan langsung berubah drastis.

Lawannya kali ini benar-benar mengalahkannya!

Yosua tidak berani menoleh ke arah setan yang membuatnya menjadi seperti ini. Seluruh tubuhnya sudah lemas, dia benar-benar sama sekali tidak bisa berjalan.

Tetapi, suara Randika memecah keheningan. "Wah Tuan Yosua belum pulang?"

Wajah Yosua itu sudah tidak berbentuk, wajahnya benar-benar buruk rupa.

"Kalau begitu, ada hal yang ingin kubicarakan dengan Tuan Yosua sebelum Anda pergi." Kata Randika sambil menghampirinya.

"Apa itu?" Kata Yosua sambil pura-pura tenang.

"Begini, hari ini kedua perusahaan kita baru saja menandatangani kontrak kerja sama." Sambil menyeringai Randika mengatakan. "Aku tidak tahu apakah kontrak itu sah atau tidak?"

"Sah! Sah!" Kata Yosua dengan cepat.

"Apakah masih ada syarat tambahannya?" Tanya Randika dengan nada dingin.

"Tentu saja tidak!" Keringat dingin mulai mengucur kembali.

"Kalau begitu, kalau aku ingin menambahkan syarat tambahan bagaimana?"

"Silahkan tambahkan, aku akan menuruti seluruh isi kontrak itu." Yosua dengan cepat menjawab.

"Hahaha, Anda memang pebisnis yang murah hati yang pernah kutemui." Kata Randika sambil tertawa, lalu dia meraih pundak Yosua dan berbisik padanya. "Mohon bantuannya."

"Sama-sama." Kata Yosua sambil gemetaran.

"Kalau begitu, sampai kita bertemu lagi." Randika lalu menepuk punggung Yosua dan pergi.

Yosua tersenyum pahit dalam hatinya. Apanya yang bekerja sama? Ini jelas-jelas pemerasan!

"Oh ya, omong-omong aku tidak punya cukup uang untuk mengganti kerusakan di hotel tadi." Randika menoleh kembali ke Yosua.

"Jangan khawatir, aku yang akan membayarnya." Kata Yosua dengan cepat.

Randika hanya mengangguk puas.

Setelah menyelesaikan ini semua, Randika naik lift dan kembali ke kamarnya. Dia melihat Inggrid sedang berlutut dan berdoa.

"Sayang, sedang apa kamu?" Kata Randika dengan suara pelan.

"Randika!" Melihat Randika yang tidak terluka, Inggrid meneteskan air mata.

"Hahaha apakah kau pikir aku akan meninggalkanmu?" Mungkin ini adalah senyuman terhangat selama hidupnya.

Inggrid lalu mengusap air matanya. "Habis, aku pikir kau terluka parah."

"Sudahlah, kalau kau ingin memelukku jangan sungkan. Aku tahu kau mencintaiku jadi jangan sungkan untuk bermanja-manja di depan suamimu ini."

Dalam sekejap, suasana haru ini menjadi rusak oleh candaan Randika itu. Inggrid dengan cepat memalingkan wajahnya yang cemberut.

"Hahaha masih saja tidak mau jujur. Oh ya, kontrakmu sudah terjamin jadi kau tidak perlu khawatir. Bahkan kau bisa mengubahnya kalau kau merasa kurang menguntungkan. Jadi bagaimana kalau besok kita bermain dan menikmati kota ini bersama-sama?" Kata Randika sambil tersenyum.

Mendengar kata-kata Randika itu, Inggrid senang bukan main dan mengiyakan saran Randika.