Chapter 233 Salah Paham

Berhasil melepaskan diri dari Saga. Daniah mengejutkan para pelayan di rumah belakang, dia tiba-tiba muncul dengan wajah polos cerianya dan menyapa semua orang yang dia temui di ruang bawah. Ada diantara mereka yang sedang bekerja, ada juga yang sedang bersantai karena mendapatkan sift malam. " Selamat pagi semuanya? numpang lewat ya, mau ke kamar Aran." Disisipi senyum dan tawa yang terlarang untuk dilihat semua orang. Diantara mereka bahkan ada yang memalingkan wajah.

Seorang pelayan menjatuhkan gelas kopinya, sementara Daniah langsung berlari menaiki tangga ke lantai

dua menuju kamar Aran. Sudah terbiasa seperti di rumahnya sendiri.

" Hei, tutup mulutmu! Kau sudah gila ya bagaimana bisa kau memandang nona seperti itu. Kau mau mati?" Seorang pelayan laki-laki mendorong temannya. "Kalau pak Mun melihatmu, habislah riwayatmu."

Pelayan yang di nasehati itu, benar-benar mengusap bibirnya, lalu berteriak keras. Terlambat menyadari kalau secangkir kopi itu mengenai kakinya. Dia tidak merasa kepanasan tadi, tapi sekarang kakinya seperti terbakar. Seorang pelayan wanita yang mendengar teriakannya, sigap membawakannya kain basah.

" Kenapa nona  bisa terlihat seperti kupu-kupu." Belum selesai dia bicara temannya sudah membekap mulutnya. Apalagi saat pelayan wanita itu mendongak saat membersihkan tumpahan kopi di lantai. Memandang tidak suka.

" Maaf, temanku pasti sudah gila." tertawa mengusir canggung agar gadis di depannya ini melupakan kata-kata yang barusan terucap. " Kalau kau mau mati, mati sendiri sana." Menariknya keluar dari rumah.

" Hati-hati dengan bicara kalian, kalau kalian masih mau bekerja di sini." selesai membereskan tumpahan kopi.

" Baik. Maafkan kami." Menundukan kepalanya sendiri sekaligus mendorong kepala temannya dengan tangan. Saat si gadis pelayan wanita sudah berlalu, mereka terlihat dorong-dorongan sambil saling memaki.

" Tapi nona memang terlihat jauh sekali berbeda dengan yang aku temui dulu. Sekarang nona benar-benar terlihat bersinar." Bergumam sambil melihat ke arah pintu yaang sudah tertutup. " Aku bertemu nona dalam jarak dekat saat mengantarnya pulang di hari pernikahannya dengan tuan muda." Dan laki-laki itu bisa melihat dengan jelas perbedaan garis wajah nonanya.

" Sudah kubilang kalau kau mau mati, mati sendiri saja. Jangan mengajaku, aku masih ingin membelikaan ibuku rumah." Menolak keras membicarakan nona Daniah dalam bentuk apa pun

Ada banyak mata di rumah belakang. Membuat semua orang menjaga sikap dengan sangat hati-hati. Apalagi yang berhubungan dengan nona mudanya. Membicarakan nona Daniah adalah hal tabu yang bisa membuat mereka kehilangan pekerjaan.

Sementara Daniah, tidak pernah tahu, kalau keberadaannya di rumah belakang bisa membawa banyak dampak bagi orang lain. Dia masih sering keluar masuk tanpa beban. seperti pagi ini.

“ Aran!" Membuka pintu, sementara Aran sedang membereskan kamarnya menoleh. " Bersiaplah, ikut kami

pergi.”

“ Kemana nona?” Sudah tidak terkejut lagi, ketika melihat nonanya tiba-tiba muncul di dalam kamar.  "Bukankah nona tidak diizinkan keluar rumah hari ini?" Dia sudah mendapat

informasi jadwal kegiataan, kalau hari ini nona Daniah tidak akan keluar atau pergi

bekerja.

“ Pergi bertemu ayah mertuamu.” Mengedipkan mata.

Deg, tangan Aran langsung

berkeringat.

Apa ini, akukan belum siap.

Lagipula memang sekertaris Han mengizinkan aku menemui ayahnya. Nona, kenapa

kamu seagresif ini si.

“ Baiklah tunggu aku di bawah ya.

Kita pergi bersama tuan Saga.” Daniah langsung menutup pintu tanpa mendengarkan

sepatah katapun dari Aran yang tampak bimbang.

Dan sekarang di sinilah aku! Aran.

Perjalanan  dengan banyak tanda tanya besar di kepala Aran.

Semua orang tengelam dengan pikiran mereka. Tidak ada yang bicara, Saga sekalipun. Dia hanya menarik tubuh Daniah ke dekatnya, membiarkan istrinya itu bersandar sampai rambutnya menempel di bibirnya. Ntah apa yang sedang dia pikirkan. Mungkin sedang mengenang

beberapa cerita hidupnya bersama paman. Atau hanya sekedar mereka ulang masa-masa pertemuannya bersama Han. Daniah memilih untuk membiarkan. Dia ikut merenung juga. Mencoba menyusun rencana kehidupannya sendiri, versi yang ia impikan. Bukan sekedar apa yang Saga rencanakan.

Di kursi depan di samping sopir,Aranpun sedang terlibat dengan pikirannya sendiri. Dia melihat ke jendela,

menerawang jauh membayangkan wajah Han. Sekaligus menduga-duga bagaimana sosok ayah mertua yang akan dia temui hari ini.

Tunggu! Kenapa bukan sekertaris Han yang menghubungiku langsung. Tiba-tiba wajah Aran berubah pias. Jangan bilang ini rencana nona untuk membuka kedekatan mereka. Tidak! panik sendiri, karena sepertinya ini terlalu cepat.

Ayah mertua? seperti apa ya orangnya? Tapi kenapa aku jadi takut begini, kalau sekertaris Han marah melihatku tiba-tiba muncul bagaimana?

Perasaan senang tadi saat masuk mobil tiba-tiba langsung menguap begitu saja. Apalagi saat selintas wajah galak itu muncul, ditambah lagi sosok rekaan yang berhasil diciptakan Aran di kepalanya. Seorang laki-laki tua yang akan menjadi ayah mertuanya. Haha, lagi-lagi berharap lebih.

Wajah tegang dan pikiran yang berkecamuk di kepala Aran sampai

membuatnya tidak menyadari ada yang aneh dari kursi belakang. Tuan Saga yang

biasanya seperti bocah kanak-kanak kalau bersama nona Daniah hari ini terlihat

kalem dan mendadak diam. Tapi karena dia sedang sibuk dengan skenario hidupnya hingga

tidak menyadari itu.

Apa yang harus kukatakan pertama

kali. Hallo tuan selamat siang saya Arandita. Atau begitu saja ya.

Bayangan wajah yang sama angkuhnya

dengan Han, hanya menatap dengan ujung matanya. Garis wajah yang sama. Sisa ketampanan yang tidak memudar. Pintar sekali Aran membuat sketsa wajah di kepalanya.

“ Kau, calon istri anakku?”

Haaaaa, aku harus bagaimana ini. Aku

mau bertanya pada nona, tapi aku bahkan tidak berani menoleh karena tuan Saga.

Aran bahkan tidak punya kesempatan

untuk bicara apapaaun sepanjang jalan. Saat dia melirik sopir yang membawa

mobil diapun tidak terlalu mengenalnya. Hanya sekedar nama atau mengangukan

kepala sopan jika bertemu di rumah belakang.

Lagipula aku bisa bertanya apa

padanya.

Dan sepanjang perjalanan Aran

membuat sebuah skenario dadakan tentang apa yang akan dia lakukan di depan

calon mertuanya. Huh, dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa

sepede itu bicara, bahkan dianggappun belum. Jangankan dianggap menantu,

dianggap manusia normal oleh sekertaris Han saja belum.

Sementara itu, dari kursi belakang tersengar suara memecah kesunyian.

“ Sayang.”

" Hemm."

“ Jangan bilang aku yang memberi

ide kamu datang jam segini padanya ya.”

“ Hemm.”

“ Jawab dulu.”

“ Kenapa? Kau takut?”

“ Haha. Ia.” Mendongak sambil

menyentuh pipi Saga. “ Aku takut kalau dia marah. Kalau dalam situasi biasa

mungkin aku masih bisa meledeknya, tapi situasi seperti saat ini jangankan

meledeknya bicara dengannya saja aku ragu.”

“ Memang apa yang mau dia lakukan?”

Ia, di depanmu dia pasti diam saja.

Tapi kalau dia membalasku nanti bagaimana.

“ Sayang”

“ Hari ini aku akan melakukan

apapun yang kau mau.”

“ Memang  sudah seharusnya seperti itu” Tegas.

“ Haha, terkadang akukan masih

membantahmu.” Mengoyangkan jemari di dagu Saga. “Tapi hari ini aku benar-benar

akan menjadi Niahmu yang patuh dan manis. Jadi tuan muda, kamu harus tersenyum

dan bahagia ya.”

“  Haha. Berani sekali kamu memberiku

penawaran begitu.”

Sementara itu di kursi depan, Aran

memasang telinganya. Wajahnya terlihat berkerut binggung.

Apa yang mereka bicarakan si?

Mereka sedang membicarakan siapa? Kenapa perasaanku tiba-tiba tidak enak

begini.

Sekali lagi karena tidak bisa

menebak akan pergi ke mana dan apa yang dibicarakan oleh kursi di belakang

membuat Aran semakin tersudut dengan pikirannya sendiri.

Saat Aran belum bisa menenangkan hatinya, Mobil memasuki sebuah gerbang tinggi. Aran

semakin dibuat binggung saat melihat tulisan besar di gerbang yang menyambut

kedatangan mereka. Lalu mobil masuk menuju area parkir.

Kenapa kita datang kepemakaman?

Siapa yang meninggal? Tunggu, nona bilang tadi mau bertemu ayah mertuakan.

Wajah Aran langsung pias. Mulai

bisa meraba apa yang ada di depannya. Saat mobil berhenti di area parkir

terlihat ada beberapaa mobil yang sudah terparkir di sana. Matanya semakin

berkeliling mencari.

Dimana dia?’

Yang dia cari tidak terlihat batang

hidungnya. Tapi segera dia menangkap beberapa sosok dengan jas rapi sedang

berkumpul. Ada yang sedang duduk dan ada yang sedang berdiri mengobrol. Dua

diantaranya dia kenali. Satu dokter Harun dan satu lagi Noah, seseorang yang

dia datangi pesta pernikahannya beberapa waktu lalu bersama nona. Hari menegangkan yang

membuatnya hampir kehilangan pekerjaan.

Kenapa mereka ada di sini? Tapi kenapa tidak ada sekertaris Han?

Aran langsung keluar dari mobil

saat mobil berhenti. Berdiri di samping pintu, karena sepertinya tuan Saga

tidak membiarkan nona Daniah turun. Laki-laki itu menundukan kepalanya setelah menutup pintu.

“ Tetap di sini, aku akan menyapa

teman-temanku sebentar. Lalu kita naik ke atas.” Daniah mengangukan kepala

sambil melirik orang-orang yang berkerumun di kejauhan. Saga menjentikan

jarinya meminta Aran mendekat. “ kau tahu yang harus kau lakukan?”

“ Ia, ia tuan.” Menundukan

kepalanya.  Langsung berdiri di depan

pintu mobil.

Saga meninggalkan mobil, sementara

sopir yang tadi membawa mobil berdiri tidak jauh dari mereka.

“ Nona, kenapa kita di sini.”

Daniah menutup mulutnya kaget.

“ Memang aku belum memberitahumu?”

Memang apa yang nona katakan? Nona

cuma mengatakan kalau saya mau bertemu calon mertua saja.

Sepanjang jalan sepertinya Aran

sudah menghabiskan waktu sia-sia dengan kecemasan.

“ Hari ini peringatan kematian ayah

sekertaris Han.”

“ Apa!”

“ Maaf ya, sepertinya aku terlupa

mengatakannya.”

Bagaimaa nona bisa lupa informasi sepenting ini si. Aku bukanya datang untuk bertemu mertuaku, tapi datang ke makam mertuaku.

Tiba-tiba gelisah langsung menyeruak ke hati. Kepala menoleh, melihat kerumunan laki-laki berjas. Tidak ada sekertaris Han di sana.

" Jadi ayah sekertaris Han sudah meninggal ya nona? Bagaimana dengan ibunya?" merasai kesepian yang ada di hati Han.

" Ibu?" Daniah belum pernah mendengar cerita tentang ibu sekertaris Han dari suaminya. " Aku tidak tahu." hening.

Biasanya setiap tahun saat peringatan kematian paman. Aku tidak bertemu dengan Han. Dia akan mengunjungi makam paman pertama sebelum aku. Ya, walaupun aku ingin menjadi yang pertama menyapa paman, tapi untuk hari ini aku selalu mengalah. Karena Han anak kandung paman, dia pasti ingin bertemu dengan putra yang membuatnya banggakan. Kenapa aku tidak menemaninya mungkin itu yang kau pikirkankan?

Karena dia benci menunjukan sisi lemahnya padaku.

Kata-kata Saga tadi pagi terngiang di kepala Daniah. Seberapa kesepiannya dirimu sekertaris Han. Gadis itu menoleh pada Aran.

Apa kedatangannya setidaknya bisa menghapus airmata di hatimu. Semoga bukan kesalahan membawa Aran ke tempat ini.

Bersambung